Keindahan Ilustrasi Virus Corona Bisa Menjeremuskan Persepsi Kita

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 15 September 2021 | 15:00 WIB
Ilustrasi berwarna dan tiga dimensi dari virus corona dinilai indah dan membuat kemampuan menular hilang dalam persepsi. Haruskah kita mengganti? (PCMA)

Nationalgeographic.co.id—Sangat sulit untuk mendapatkan foto dari virus corona (SARS-CoV-2) yang sangat kecil, dan membutuhkan lebih dari sekedar mikroskop biasa. Foto virus bisa memberikan banyak pengetahuan kita, kalangan awam, untuk memahami biang keladi pagebluk COVID-19.

Akibatnya, banyak seniman yang membuat ilustrasi virus dengan desain tiga dimensi yang kemudian digunakan banyak media—seperti gambar di atas—demi mempermudah gambaran pada masyarakat awam. Pertimbangan lain juga disebabkan mudahnya mendapatkan ilustrasi seperti ini di situs gambar dengan lisensi gratis, yang menyebabkannya tersebar secara luas.

Tak hanya media, beberapa ilmuwan juga menggunakan ilustrasi ini dalam presentasi atau yang berhubungan dalam pengenalan virus corona, agar mempermudah pengetahuan disampaikan sebagai komunikasi krisis.

Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE 25 Agustus lalu, mengungkap dampak ilustrasi virus yang dilihat dan dibandingkan dengna foto aslinya. Makalah itu berjudul The attributes of the images representing the SARS-CoV-2 coronavirus affect people’s perception of the virus.

Penelitian ini dilakukan oleh Celia Andreu-Sánchez dari Neuroscience and Communication Research Group di Universitat Autònoma de Barcelona, dan Miguel Ángel Martín-Pascual dari Instituto Radio Televisión Española (IRTVE), Spanyol.

Para peneliti menulis, gambar hitam putih dan dua dimensi dari SARS-CoV-2 membuat virus tampak lebih menular dan menyeramkan. Sedangkan melalui desain tiga dimensi yang memiliki warna-warni, meski mewakilkan gambar virus sebenarnya, membuatnya tampak lebih indah tetapi tidak terlalu realistis atau dianggap tidak menular.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Selama ini Rekonstruksi Manusia Purba Keliru dan Bias

Foto Mikrograf elektron transmisi partikel virus SARS-CoV-2 oranye diisolasi dari pasien NIH. Kini, Para ilmuwan menemukan kode genetik untuk 33 virus kuno di gletser dari Dataran Tinggi Tibet, Tiongkok. (Public Domain)

"Hasil kami mengarahkan kami untuk mempertimbangkan kemungkinan persepsi pemirsa tentang gambar yang mewakili SARS-CoV-2 dapat memengaruhi perilaku dan emosional mereka," ujar Celia Andreu-Sánchez, penulis utama studi, dikutip dari rilis.

Hasil itu diungkap dari survei pada 333 responden. Mereka ditanyai penilaian keindahan, sifat ilmiah, realisme, persepsi menular, ketakutan, dan sifat didaktif atau pelajaran dari gambar yang dilihatnya. Gambar yang diberikan antara lain foto asli (hitam-putih), gambar berwarna yang dibuat media, dan ilustrasi tiga dimensi dari virus corona.

Berhubung gambar virus corona yang dinilai indah cenderung terlihat pada gambar berwarna dan tiga dimensi, ilustrasi ini sering digunakan oleh media. Sehingga, para peneliti berpendapat bahwa media telah berperan dalam distribusi gambar yang mempercantik virus meski tujuannya memberi informasi tentang pandemi dalam pemberitaan.

Baca Juga: Telusur Riwayat Perkembangan Seni Ilustrasi Botani di Indonesia

 

Awalnya mereka menganggap semakin indah gambar, semakin kurang mendidik bagi yang melihatnya. Tetapi ketika penelitian berlangsung, mereka tidak menemukan korelasi antara keindahan gambar dan nilai didaktif.

"Media punya tanggung jawab besar dalam menyediakan informasi yang benar kepada khalayaknya, termasuk gambar yang digunakan dalam pemberitaannya," ujar Miguel Ángel Martín-Pascual dalam 

"Ada kebutuhan untuk mengevaluasi apakah gambar virus corona yang dipercantik yang tidak sesuai dengan foto asli dari virus yang sama adalah praktik yang jauh dari mendidik bagi penonton, sebenarnya dapat dipahami sebagai cara yang menyajikan berita palsu secara visual."

Baca Juga: Infeksi Ulang COVID-19 Tertinggi Ada di Antara Penghuni Panti Jompo

Pertama kalinya seorang pasien diketahui terinfeksi dua varian virus corona yang berbeda. Pasien COVID-19 itu akhirnya meninggal. (RAW PIXEL LTD)

"Menyajikan gambar-gambar indah dari apa yang menurut direktur WHO dianggap sebagai musuh publik nomor satu, kita seharusnya memberi sesuatu untuk dipikirkan," tambahnya.

Andreu-Sánchez juga berpendapat, "Kami menyarankan agar komuinikator ilmiah memperhatikan penelitian ini ketika mengkomunikasikan konten ilmiah yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat di masa depan, di mana perilaku populasi sangat penting."

Mereka menambahkan bahwa hasil penelitian seperti ini diharapkan dapat diterapkan ke dalam sektor komunikasi ilmiah lainnya, terutama rencana desain dan protokol komunikasi dalam situasi krisis global.

Baca Juga: Kecerdasan Buatan Bisa Bantu Tenaga Kesehatan Merawat Pasien COVID-19