Lelakon Rumphius di Ambon: Kebutaan, Korban Gempa, Sampai Kebakaran

By Galih Pranata, Jumat, 17 September 2021 | 09:02 WIB
Potret ilmuwan buta VOC, Georg Everhard Rumphius. (KITLV)

Pada saat itu pula, terjadi gempa dahsyat yang mengguncang seluruh wilayah Ambon. Seluruh bangunan dan rumah yang semula berdiri kokoh, luluhlantak. "Kejadian itu menewaskan istri dan putri terkasihnya" tulisnya. 

Ketegarannya tak membuatnya menangisi nasib. Ia merampungkan catatan penting dari reportase gempa dengan bantuan beberapa penulis. Tulisannya menjadi satu-satunya sumber terkuat dalam mengisahkan gempa dahsyat Ambon 1674. Berikut juga UNESCO mengutipnya sebagai warisan langka dalam salah satu sejarah bencana terbesar di muka bumi.

"Ia dihantam gempa dan mega tsunami yang menghancurkan, ditambah kepiluan atas kepergian orang-orang terkasihnya" tambah Mikanowski. Namun, Rumphius bukanlah seorang yang menyerah dengan keadaan. "Ditahun-tahun berikutnya, ia juga telah berhasil meluncurkan buku pertamanya yang fenomenal itu (Herbarium Amboinense) dengan bantuan juru tulis yang ia bayar" tulisnya.

Baca Juga: Terhenti sejak Konflik 1999, Maluku Akhirnya Kembali Ekspor Pala

Nasib buruk seakan lekat dengan dirinya. Setelah sejumlah kehilangan yang ia terima, pada 1687, perpustakaannya di Ambon terbakar, semua naskah hangus dilalap si jago merah, kecuali bukunya tentang Kitab Jamu-Jamuan. Keberanian dan tekad yang kuat dalam dirinya membuat ilmuwan buta ini kembali menulis dan menyelesaikan buku-bukunya.

Ia berhasil merampungkan sejumlah bukunya, yang kemudian ia setorkan ke penerbitan milik VOC. Sayang, VOC menahan sejumlah karya besarnya hingga bertahun-tahun lamanya. Sekali lagi, nasib buruk seakan lekat dengannya. Pada 1702, saat berusia 74 tahun, Rumphius wafat di Ambon tanpa pernah menyentuh sejumlah karyanya yang diterbitkan kemudian.

"Karyanya menjadi fenomenal setelah kepergiannya" tulis Mikanowski. Ia kemudian dikenang sebagai ahli botani dengan segenap temuan menakjubkannya. Ia adalah simbol bagi keberanian dalam melawan nasib buruk yang menimpanya. Sebagai penghormatan pada perjuangan hidupnya, didirikanlah monumen untuk mengenangnya, meski pada akhirnya kini sudah tak bersisa lagi.