Nationalgeographic.co.id—Salah satu bencana alam yang cukup dikenang karena menghancurkan beberapa wilayah di Maluku pada 1674, tak terlepas dari sosok ilmuwan VOC berkebangsaan Belanda, Rumphius. Jan Frederik Veldkamp dalam tulisannya yang diterbitkan Garden's Bulletin Singapore menceritakan kisah tentang Rumphius.
Jurnalnya yang berjudul Georgius Everhardus Rumphius (1627–1702), the blind seer of Ambon, pada tahun 2011, menjelaskan bahwa Georg Everhard Rumpf dikenal dengan nama latin sebagai Georgius Everhardus Rumphius. "Ia lahir di Jerman (kemungkinan pada akhir 1627), selama berkecamuknya Perang Tiga Puluh Tahun yang menghancurkan" tulisnya.
Sehari setelah Natal tahun di tahun 1652, di usianya yang ke 25 tahun, ia berlayar selama enam bulan ke Jawa sebagai tentara yang dipekerjakan oleh Perusahaan Hindia-Belanda, VOC. "Selepas di Jawa, ia kemudian ditugaskan ke kepulauan rempah, Maluku, tepatnya di Kota Ambon, di mana Belanda telah mendirikan pos perdagangan disana" tambahnya.
Sesampainya di sana, Rumphius tampak senang dengan kondisi alam yang menakjubkan. Ia sangat menikmati indahnya alam tropis di wilayah timur Indonesia itu. Di sana juga ia bertemu dengan seorang gadis yang memperkenalkannya terhadap anggrek. "Ia adalah Susanna, wanita yang kemudian Rumphius kawini" tulis Veldkamp.
Susanna merupakan pribumi keturunan Tionghoa. Kehadirannya yang memperkenalkan anggrek, semakin menajamkan minat Rumphius pada dunia botani. "Untuk kenanganku bersamanya—kawan dan rekan pertamaku dalam mencari tumbuhan dan jamu-jamuan. Ia yang pertama kali menunjukkan kepadaku bunga ini," ungkap Rumphius dalam catatan Veldkamp.
Ungkapan manis itu muncul saat ia dikenalkan oleh Susanna, tanaman anggrek yang menawan. Dari bukunya berjudul Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741), ia kemudian mematenkan nama lain dari anggrek tanah dengan nama kekasihnya, Floss Susannae (sekarang Pecteilis susannae).
Sebelum ia mampu menciptakan banyak karya dan dikenal sebagai ilmuwan, pada 1670, saat berumur 43 tahun, kedua mata Rumphius buta karena penyakit staar alias glaukoma. Meski didekap kebutaan, Susanna dan anaknya terus membantunya dalam menulis karya-karyanya.
Baca Juga: Catatan Gempa dan Mega Tsunami yang Pernah Melanda Maluku pada 1674
Perlahan kecintaan Rumphius terhadap tanaman dan segala hal tentang Maluku, mendorongnya mengoleksi sejumlah jenis bunga dan kerang-kerangan. Ia juga banyak berperan dalam penamaan-penamaan tanaman di Maluku dengan bahasa latin, Melayu maupun bahasa Ambon.
Veldkamp meneruskan tulisannya, "tak berhenti disitu, ia juga berperan dalam menggambarkan bentuk akar, struktur tanaman, hingga pewarnaan pada daun dalam karyanya". Ia juga menambahkan deskripsi tentang khasiat dari tanaman koleksinya, seperti untuk mengatasi wasir, mencret, hingga mengobati sakit kuning.
Sebelum ia berhasil dengan kitab gubahannya, suatu hal yang besar terjadi dalam hidupnya. Pada 17 Februari 1674, saat langit cerah, Rumphius, Susanna, dan putri mereka berjalan-jalan untuk menyaksikan perayaan Imlek di Kota Ambon.
"Susanna bersama putrinya mampir ke sebuah toko, sedang Rumphius menunggu mereka di luar" terang Jacob Mikanowski dalam tulisannya. Ia menggambarkan detik-detik bersejarah dalam hidup Rumphius melalui artikelnya yang berjudul The Doomed Blind Botanist Who Brought Poetry to Plant Description (2016).
Baca Juga: Terhenti sejak Konflik 1999, Maluku Akhirnya Kembali Ekspor Pala
Pada saat itu pula, terjadi gempa dahsyat yang mengguncang seluruh wilayah Ambon. Seluruh bangunan dan rumah yang semula berdiri kokoh, luluhlantak. "Kejadian itu menewaskan istri dan putri terkasihnya" tulisnya.
Ketegarannya tak membuatnya menangisi nasib. Ia merampungkan catatan penting dari reportase gempa dengan bantuan beberapa penulis. Tulisannya menjadi satu-satunya sumber terkuat dalam mengisahkan gempa dahsyat Ambon 1674. Berikut juga UNESCO mengutipnya sebagai warisan langka dalam salah satu sejarah bencana terbesar di muka bumi.
"Ia dihantam gempa dan mega tsunami yang menghancurkan, ditambah kepiluan atas kepergian orang-orang terkasihnya" tambah Mikanowski. Namun, Rumphius bukanlah seorang yang menyerah dengan keadaan. "Ditahun-tahun berikutnya, ia juga telah berhasil meluncurkan buku pertamanya yang fenomenal itu (Herbarium Amboinense) dengan bantuan juru tulis yang ia bayar" tulisnya.
Baca Juga: Terhenti sejak Konflik 1999, Maluku Akhirnya Kembali Ekspor Pala
Nasib buruk seakan lekat dengan dirinya. Setelah sejumlah kehilangan yang ia terima, pada 1687, perpustakaannya di Ambon terbakar, semua naskah hangus dilalap si jago merah, kecuali bukunya tentang Kitab Jamu-Jamuan. Keberanian dan tekad yang kuat dalam dirinya membuat ilmuwan buta ini kembali menulis dan menyelesaikan buku-bukunya.
Ia berhasil merampungkan sejumlah bukunya, yang kemudian ia setorkan ke penerbitan milik VOC. Sayang, VOC menahan sejumlah karya besarnya hingga bertahun-tahun lamanya. Sekali lagi, nasib buruk seakan lekat dengannya. Pada 1702, saat berusia 74 tahun, Rumphius wafat di Ambon tanpa pernah menyentuh sejumlah karyanya yang diterbitkan kemudian.
"Karyanya menjadi fenomenal setelah kepergiannya" tulis Mikanowski. Ia kemudian dikenang sebagai ahli botani dengan segenap temuan menakjubkannya. Ia adalah simbol bagi keberanian dalam melawan nasib buruk yang menimpanya. Sebagai penghormatan pada perjuangan hidupnya, didirikanlah monumen untuk mengenangnya, meski pada akhirnya kini sudah tak bersisa lagi.