Nationalgeographic.co.id - Selama 2019-2020 lalu, Australia terjadi kebakaran besar yang berakibat pada tiga miliar hewan tewas, luka-luka, dan terlantar. Luas areal yang terjadi di tenggara, barat daya, dan hutan hujan diperkirakan mencapai 11,46 juta hektare, dalam laporan National Geographic Indonesia sebelumnya.
Meski berdampak pula pada hewan dan juga manusia di darat, ternyata kebakaran itu memiliki konsekuensi bagi lingkungan. Berdasarkan studi terbaru di jurnal Nature yang dipublikasikan Rabu (15/09/2021), fitoplankton raksasa di seluruh perairan di tenggara Australia, dan Samudera Selatan, mekar lebih besar dari biasanya.
Plankton memang berperan penting dalam memproduksi oksigen, tetapi pemekaran besar-besaran ini bukanlah kabar baik. Pasalnya, sebagian kumpulan organisme yang luas ini dapat menjadi 'sup' beracun yang merusak ekosistem laut dan perubahan iklim.
"Mekarnya fitoplankton di wilayah ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan satelit 22 tahun dan berlangsung selama sekitar empat bulan,” kata rekan penulis penelitian Peter Strutton, profesor dari Institute for Marine and Antarctic Studies, University of Tasmania.
"Apa yang membuatnya lebih luar biasa adalah bahwa bagian dari musim ketika mekar muncul biasanya merupakan titik terendah musiman fitoplankton, tetapi asap dari kebakaran hutan Australia benar-benar membalikkan itu," ujarnya dikutip dari Scimex.
Untuk memahami bagaimana kebakaran besar itu bertanggung jawab atas mekarnya fitoplankton ini, para peneliti menulis makalah berjudul Widespread phytoplankton blooms triggered by 2019–2020 Australian wildfires. Dalam laporan itu mereka menggabungkan data satelit untuk melacak jalur asap dan pengukuran di darat.
Baca Juga: Krisis Iklim Turut Memberikan Dampak yang Besar bagi Kesehatan Mental
Temuan peningkatan konsentrasi fitoplankton di laut juga mereka konfirmasi dari penggabungan data satelit, bersama pelampung profil otonom yang ditempatkan di seluruh kawasan.
Para peneliti menyebut, penyebab di balik mekarnya fitoplankton adalah aerosol dari asap kebakaran hutan yang tingginya mencapai 16 kilometer. Kemudian angin di stratosfer mengangkut asap itu terbang sangat jauh hingga sampai di Samudera Selatan--termasuk bagian terdekat Amerika Selatan.
Asap itu juga mengandung zat besi yang rendah, tetapi signifikan untuk membantu fotosintesis dan petumbuhan fitoplankton. Dengan demikian, elemen itu lebih banyak tiga kali dari semestinya yang ditemukan di sana saat normal, yang berimbas pada mekarnya fitoplankton secara cepat.
Baca Juga: Sebuah Pohon Masih Terus Membara sejak Kebakaran Hutan California 2020
"Percepatan pertumbuhan fitoplankton saat kebakaran terjadi di Australia begitu cepat sehingga hanya tertinggal beberapa minggu dan dalam beberapa kasus hanya beberapa hari," terang Jakob Weis, rekan penelitian dan ahli biogeokimia dari University of Tasmania.
"Ini bahkan ketika dampak asap terasa pas dan mulai daripada muncul sebagai hujan asap terus-menerus di lautan. Sebagai contoh, kami menemukan kebakaran hanya pada satu hari, pada 8 Januari [2020], menyimpan 25 persen dari karbon hitam dan besi sepanjang Januari ke bagian laut itu."
Pada laporan penelitian kedua yang berjudul Vast CO2 release from Australian fires in 2019–2020 constrained by satellite di jurnal Nature di hari yang sama, tim peneliti lain memperkirakan ada sekitar 715 juta ton karbon dioksida terpompa dari kebakaran hutan. Intensitas ini jauh lebih tinggi dari banyak perkiraan sebelumnya.
Baca Juga: Perubahan Iklim Saat Ini Telah Memengaruhi Evolusi Serangga Laut
Fitoplankton yang berperan dalam penyerapan karbon ini diperkirakan menyedot hampir semua karbon dioksida yang dilepaskan oleh pembakaran itu. Terlebih, mereka yang di laut lepas itu memanfaatkan cahaya dan suhu yang ada untuk secepat mungkin memproses fotosintesis.
"Ukuran dan perubahan produktivitas kira-kira setara dengan mengubah seluruh gurun Sahara menjadi padang rumput yang cukup produktif selama beberapa bulan," kata Strutton.
"Dengan meningkatnya risiko kebakaran hutan di beberapa daerah, dan potensi dampak terhadap iklim, penelitian ini menunjukkan bahwa kita perlu mengalihkan perhatian kita pada konsekuensi kebakaran dalam skala global."
"Kami membutuhkan representasi kebakaran hutan yang jauh lebih komprehensif dalam model iklim dan studi yang ditargetkan untuk memahami pengaruhnya terhadap ekosistem laut. Kapasitas kita untuk beradaptasi dengan perubahan iklim di masa depan bergantung padanya."
Baca Juga: Anatomi Hewan Berubah Karena Perubahan Iklim, Ini Kata Para Ahli