Wartawan Kompas Tekno Wicak Hidayat mengikuti Microsoft International Underground Tour, 11-12 Maret 2014. Berikut adalah salah satu catatan pribadinya dari kegiatan itu.
Jangan salahkan kalau saya skeptis dengan hal yang satu ini. Salah satu agenda dalam rangkaian Microsoft International Underground Tour adalah bertemu dengan hometown heroes. Microsoft akan mempertemukan awak pers peserta tur dengan karyawan yang berasal dari negara masing-masing. Artinya, wartawan Indonesia akan bertemu dengan orang Indonesia yang bekerja di sana.
Pertemuan dengan Monica Harjono di sebuah restoran di kantor pusat Microsoft, Redmond, Washington, AS, seperti hendak mematahkan asumsi tersebut.
Terus terang, sosok yang terbayang di benak saya akan “hometown hero” itu adalah tipikal orang Indonesia lulusan sekolah luar negeri (lebih khusus lagi, lulusan sebuah kampus mahal dan ternama di AS). Namun, yang saya temui seorang wanita luar biasa, dengan logat Surabaya yang tak bisa dimungkiri, serta senyum yang memancarkan kehangatan bagai bertemu sanak-saudara yang sudah lama tak berjumpa.
Dari pertemuan itu saya mengetahui bahwa Monica Harjono adalah arek Suroboyo asli. Lahir dan dibesarkan di “ibu kota kedua” Indonesia, Monica juga menyelesaikan studinya di bidang Akuntansi di Universitas Airlangga, Surabaya.
Patah sudah semua asumsi saya bahwa hanya lulusan luar negeri yang bisa bekerja di perusahaan sebesar itu. Dan, dengan runtuhnya asumsi itu, saya harus memulai lagi perkenalan dengan Monica dari awal.
Peluang dari Jepang
Monica memulai kariernya di Indonesia, bekerja pada sebuah perusahaan lokal. Sebelum kemudian ia mendapatkan kesempatan ke Jepang. Selama setahun ia tinggal di Jepang dan mempelajari Bahasa Jepang. Sebuah kesempatan emas, karena terbukti penguasaannya atas Bahasa Jepang membuka jalan untuk petualangan selanjutnya.
Sepulang dari Jepang, Monica bekerja di perusahaan MCI WorldCom di Singapura. Tugas utamanya adalah menyediakan dukungan bagi cabang perusahaan itu di Jepang dan Australia. Mereka yang tahu soal sejarah korporasi global mungkin akan mengenal nama itu, WorldCom adalah salah satu perusahaan yang terkenal karena skandal keuangan di tahun 2000-an. Kasusnya (meski tidak terkait) hampir bersamaan dengan kasus Enron.
Monica mengaku teringat masa-masa itu sebagai masa yang cukup menegangkan. Ia ingat bagaimana rekan-rekan di kantornya meributkan hal itu. “Bagaimana ini? kata salah satu rekan saya soal kasus yang sedang menimpa perusahaan. Kami semua saat itu panik, semua berpikir untuk jump the ship,” tuturnya.
Beruntung, Monica kemudian dihubungi lagi oleh head hunter yang menawarkannya pekerjaan di Microsoft, tepatnya di Microsoft Asia Pacific Operations Center di Singapura. Lagi-lagi, pekerjaan ini terkait dengan Jepang. “Tugas pertama saya di Microsoft adalah di bagian Keuangan/Akuntan dengan fokus utama pada operasional di anak usaha Microsoft di Jepang,” tutur Monica.
Di Microsoft, Monica mengaku pandangannya makin terbuka. Ia tidak melulu berurusan dengan akuntansi tradisional, seperti buku besar, debit/kredit, dan semacam itu, tetapi mulai melihat sisi bisnis yang lebih luas.
“Saya banyak terlibat dalam kegiatan bisnis dan operasional, serta pengambilan keputusan. Hal ini benar-benar membuka mata saya dan membuat saya merasa bisa belajar banyak soal bisnis ini dan di saat yang sama, memberikan nilai tambah dengan sudut pandang keuangan dan bertindak sebagai penasihat yang dipercaya,” tulis Monica dalam surelnya kemudian.
Monica menyebut tahun pertamanya di Microsoft sebagai sebuah impian yang jadi kenyataan dan pengalaman yang mengubah hidup.
Menemukan cinta di Irlandia
Dalam menjalankan pekerjaannya di Microsoft, Monica juga banyak berhubungan dengan kantor Microsoft di wilayah lain. Bukan hanya di wilayah Asia Pasifik, yang merupakan wilayah operasional utamanya, tetapi juga di lokasi lain.
Salah satunya menghubungkan Monica dengan Microsoft di Irlandia. Di sini Monica berkenalan dengan pria yang kemudian akan menjadi suaminya. “Awalnya ada sebuah proyek, kami mengerjakannya bersama. Dia sebagai engineer dari Irlandia dan saya mendukung di Singapura,” kata Monica.
Setelah 2,5 tahun di Singapura, Monica mengatakan ia kemudian mendapat peluang untuk bekerja di Microsoft European Operations Center di Dublin, Irlandia. Sebuah peluang yang tak disia-siakan, apalagi dirinya sudah memiliki tambatan hati di sana.
Selain mendapatkan keluarga, Monica juga mendapatkan pengalaman baru dari sisi karier. Karena di Dublin ia bukan hanya mengenal Eropa, tetapi juga dinamika operasional dan bisnis Microsoft di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Setelah Dublin, pada 2006 Monica dan suaminya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di kantor pusat Microsoft di Redmond. “Kami sangat bersyukur atas kesempatan itu, karena sangat membantu dalam hal pembelajaran dan pengembangan karier.”
11 tahun, 3 benua
Total, karier Monica di Microsoft telah mencapai 11 tahun. Selama itu ia sudah melanglang buana di tiga benua. Pengalamannya itu dikatakan Monica membuatnya bisa merasakan betapa beragamnya manusia.
“Kita harus menyesuaikan diri dengan orang dari berbagai bangsa, yang memiliki kebiasaan dan cara pandang yang sangat berbeda dengan kita. Ada orang yang kalau bicara keras, ada yang tidak biasa mengungkapkan perasaannya di muka umum,” ujarnya.
Di Microsoft, Monica mengaku banyak belajar soal teknologi juga. Dan ia merasakan perubahan Microsoft dari perusahaan yang terfokus pada membuat software untuk PC ke kondisi saat ini, menjadi device and services company. Dengan berbekal aplikasi pada perangkat berbasis Windows Phone, misalnya, ia menunjukkan bagaimana karyawan Microsoft bisa melihat ketersediaan shuttle untuk bepergian dari satu gedung ke gedung lain.
Ia juga bercerita bagaimana menggunakan teknologi baru, seperti PowerMap, untuk presentasi dan menampilkan data dengan cara yang sebelumnya tak bisa dilakukan dengan mudah. “Hal-hal teknis juga saya pelajari, walaupun posisi saya di keuangan,” tuturnya.
Apa kabar Indonesia?
Di waktu senggangnya, Monica senang membaca buku dan bermain piano. Kemampuan bermain piano didapatnya dari mendiang ibundanya yang merupakan seorang guru piano dan telah mengajarkannya cara bermain piano sejak umur tiga tahun.
Karena kedua orangtuanya sudah wafat, Monica mengaku sudah tidak pernah pulang ke Indonesia. Ia pun sangat jarang memiliki kesempatan bertemu sesama orang Indonesia yang bekerja di Microsoft Redmond.
Namun, bukan berarti ia jarang bertemu orang Indonesia. Monica mengaku beberapa teman sekolahnya di Surabaya bekerja di perusahaan yang juga berbasis di Seattle, AS. Oleh karena itu, mereka malah cukup rutin bertemu, lebih sering dari bertemu sesama karyawan Microsoft dari Indonesia.
Kegiatan lain Monica adalah fotografi. Dalam hal itu, Monica aktif dalam kompetisi fotografi yang menjadi bagian dari Microsoft Giving Campaign —sebuah program donasi dari karyawan Microsoft di AS.
Salah satu foto karyanya dikatakan telah dimuat dalam buku foto yang dibuat dalam rangka kampanye Microsoft Giving itu. “Semua hasil penjualan buku itu, dan dana yang sama dari perusahaan akan diberikan pada organisasi amal,” tuturnya.
Ia mengaku sering ingin tahu seperti apa program amal yang ada di Indonesia, serta apakah Microsoft Indonesia terlibat dengan kegiatan amal atau sosial tertentu. Sebuah pertanyaan yang saya jawab dengan ajakan untuk berkunjung pulang ke Indonesia.
Kepada orang Indonesia yang ingin memiliki kesempatan bekerja di perusahaan seperti Microsoft, Monica mengatakan bahwa peluang dan kesempatan itu bisa datang kepada siapa pun.