"Namun sebenarnya, di sejumlah daerah seperti Bangka Belitung, Medan, Kalimantan juga berkembang varian kue bulan yang mendapat pengaruh dari daerah leluhur komunitas tersebut."
Misal, di Bangka Belitung yang mayoritas leluhurnya berasal dari suku Hakka, maka yang berkembang adalah kue bulan yang disiapkan oleh orang Hakka, yakni Cu Chong Kao. Kue jenis ini bentuknya bertekstur seperti kue mochi, terbuat dari tepung ketan dan gula, dan terkadang ditaburi biji wijen.
Sedangkan di Kalimantan Barat yang leluhurnya kebanyakan dari Tio Ciu dan Hakka, maka yang berkembang adalah hasil adaptasi gaya dari kedua suku. Kalangan suku Tio Ciu lebih mengenal Bue Tang Chai sebagai jenis sajian perayaan, yang isiannya adalah sayur asin.
"Bue Tang Chai sebetulnya bukan jenis kue bulan, tapi merupakan isian dari Lapia (salah satu jenis kue bulan Tio Ciu)" Flora berpendapat. "Campuran umumnya adalah Mei Cai--sayur asin kering, kacang ijo, tangkwe, kacang mede, wijen, kenari, kuaci. Bue Tang Chai ini kesukaan orang Totok zaman dulu, namun seiring dengan perkembangan zaman, generasi sekarang justru menganggap rasanya aneh."
Perkembangan kue bulan berikutnya mengalami modernisasi agar bisa diterima banyak pihak. Variasinya sekarang bisa menjadi es krim, rainbow mooncake, hingga isian buah seperti durian.
Meski ada banyak jenisnya, penyajian kue bulan dan disantap pada Festival Pertengahan Musim Gugur, menyimpan nilai moral yang berkaitan dengan penghormatan kepada leluhur. Menyantap kue bulan juga menjadi simbol keharmonisan berkumpulnya keluarga pada suatu momen.
"Seperti simbol dari kue bulan yang bentuknya bulat, melambangkan kesatuan dan juga terdapat pesan moral untuk bersyukur atas kelancaran hasil panen," pungkasnya.
Baca Juga: J.P. Coen Memuji Warga Tionghoa, Namun Mengapa VOC Membantai Mereka?