Ragam Kue Bulan: Sajian Khas untuk Festival Pertengahan Musim Gugur

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 20 September 2021 | 19:00 WIB
Kue bulan bergaya Kanton (Cantonese style) yang digunakan untuk Festival Pertengahan Musim Gugur pada tanggal 15, bulan ke-8, dalam kalender Imlek. (Flora Tan/PPH Jakarta)

Nationalgeographic.co.id - Festival Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan dirayakan setiap hari ke-15, bulan ke-8, dalam kalender Imlek. Dalam sejarahnya, festival ini bermula dari kebiasaan Kaisar memberi penghormatan kepada bulan saat Dinasti Zhou (1046-256 SM) dan baru tercatat sebagai festival saat Dinasti Song Utara berkuasa di Tiongkok (960-1127).

Perayaan ini identik dengan kue bulan yang menjadi bagian tradisi dan terus berkembang berdasarkan zaman dan tempatnya.

Sejatinya, tidak jelas bagaimana asal-usul kue bulan atau Yue Bing. Nama sajian itu diketahui tercatat sejak Dinasti Song Selatan (960–1279) lewat Meng Liang Lu yang ditulis Wu Zi Mu. Meski, saat itu kue bulan hanya sebatas nama makanan saja dan belum ditemukan catatan mengenai kaitannya dengan Festival Pertengahan Musim Gugur.

Tapi sumber lain juga merujuk kue ini disantap sejak Dinasti Tang (618–907 Masehi) pada kebiasaan masyarakat menikmati makanan tersebut, sambil menikmati keindahan bulan purnama. Mengenai hal ini, belum ditemukan catatan yang membuktikan kisah ini dari masanya.

"Saat Kaisar Tang Xuan Zong sedang menikmati keindahan bulan purnama bersama selirnya, Yang Gui Fei, kaisar makan [kue] Hu Bing." terang Flora Tan, Pengurus Bidang Seni Budaya Putra Putri Hakka Jakarta (Hakka Indonesia Group) kepada National Geographic Indonesia, Minggu (19/09/2021).

Kue Hu Bing sendiri adalah kue yang dikenal sejak Dinasti Han, dengan isian wijen dan kenari.

"Dan berkata bahwa nama Hu Bing tidak enak didengar. Lantas selirnya menatap ke bulan yang terang dan menyarankan mengganti namanya menjadi Yue Bing."

Sejak Dinasti Ming (1368–1644), kue bulan baru dikaitkan sebagai makanan yang dinikmati sebagai Festival Pertengahan Musim Gugur. Flora menyebut, kue bulan bahkan berperan pada kisah awal mulanya terbentuk dinasti ini setelah menjatuhkan Dinasti Yuan yang dikuasai bangsa Mongol.

Kue bulan berfungsi sebagai wadah penyelundupan pesan untuk melawan Dinasti Yuan pada bulan delapan tanggal 15. Itulah alasan mengapa kue bulan menjadi bagian tradisi untuk disantap pada tanggal tersebut, terang Flora.

Baca Juga: Membuat Lentera dan Makan Kue Bulan, Ini Tradisi Festival Musim Gugur

Koa Persik dan Koa Hu Lu. Keduanya adalah jenis kue bulan untuk disajikan sembahyang pada Festival Pertengahan Musim Gugur karena bahannya yang keras. Kue ini menjadi lambang panjang umur, rejeki, dan posisi jabatan tinggi. (Flora Tan/PPH Jakarta)

Kue bulan ini kemudian berkembang dengan banyak variasi dari segi bahan, isi, cara pembuatan, hingga gaya sejak Dinasti Qing berkuasa (1636 - 1911).

"Di Indonesia sendiri, tiap daerah mengembangkan variasi kue bulannya, paling umum dijumpai di berbagai tempat adalah kue bulan panggang Cantonese Style berkulit coklat dan kue roda kulit putih khas Peranakan," paparnya.

Gaya Kanton ini biasanya dioles dengan minyak babi, dengan varian isi seperti kacang hijau, kacang hitam, pasta biji teratai, pasta duren, atau campuran kacang-kacangan dan biji-bijian. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, muncul pula versi untuk vegetarian.

Pada kue bulan roda khas Tionghoa peranakan, lebih dikenal sebagai jenis asli masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

"Belum ada jenis moon cake yang jenis ini di negara lain. Dan rasanya disesuaikan dengan lidah orang peranakan Tionghoa-Indonesia seperti rasa keju, cokelat, cokelat-keju, nanas, biji jambu, duren, susu, cempedak, dan lain-lain," jelas Flora.

Baca Juga: Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur

"Namun sebenarnya, di sejumlah daerah seperti Bangka Belitung, Medan, Kalimantan juga berkembang varian kue bulan yang mendapat pengaruh dari daerah leluhur komunitas tersebut."

Misal, di Bangka Belitung yang mayoritas leluhurnya berasal dari suku Hakka, maka yang berkembang adalah kue bulan yang disiapkan oleh orang Hakka, yakni Cu Chong Kao. Kue jenis ini bentuknya bertekstur seperti kue mochi, terbuat dari tepung ketan dan gula, dan terkadang ditaburi biji wijen.

Sedangkan di Kalimantan Barat yang leluhurnya kebanyakan dari Tio Ciu dan Hakka, maka yang berkembang adalah hasil adaptasi gaya dari kedua suku. Kalangan suku Tio Ciu lebih mengenal Bue Tang Chai sebagai jenis sajian perayaan, yang isiannya adalah sayur asin.

Kue roda adalah jenis kue bulan yang berkembang oleh kalangan peranakan Tionghoa di Indonesia, untuk merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur. (Flora Tan/PPH Jakarta)

"Bue Tang Chai sebetulnya bukan jenis kue bulan, tapi merupakan isian dari Lapia (salah satu jenis kue bulan Tio Ciu)" Flora berpendapat. "Campuran umumnya adalah Mei Cai--sayur asin kering, kacang ijo, tangkwe, kacang mede, wijen, kenari, kuaci. Bue Tang Chai ini kesukaan orang Totok zaman dulu, namun seiring dengan perkembangan zaman, generasi sekarang justru menganggap rasanya aneh."

Perkembangan kue bulan berikutnya mengalami modernisasi agar bisa diterima banyak pihak. Variasinya sekarang bisa menjadi es krim, rainbow mooncake, hingga isian buah seperti durian.

Meski ada banyak jenisnya, penyajian kue bulan dan disantap pada Festival Pertengahan Musim Gugur, menyimpan nilai moral yang berkaitan dengan penghormatan kepada leluhur. Menyantap kue bulan juga menjadi simbol keharmonisan berkumpulnya keluarga pada suatu momen.

"Seperti simbol dari kue bulan yang bentuknya bulat, melambangkan kesatuan dan juga terdapat pesan moral untuk bersyukur atas kelancaran hasil panen," pungkasnya.

Baca Juga: J.P. Coen Memuji Warga Tionghoa, Namun Mengapa VOC Membantai Mereka?