Bagaimana Arkeolog Mengetahui Keberadaan dan Umur Benda Prasejarah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 23 September 2021 | 20:30 WIB
Para arkeolog kerap mengungkap temuan benda prasejarah. Tetapi bagaimana caranya mengetahui suatu tempat adalah situs prasejarah, hingga mengetahui umurnya? (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tapi kadang kala daerah hutan lebat membuat kawasan tidak bisa muncul di satelit, karena tertutup pohon. Cara alternatifnya adalah bisa memanfaatkan LiDAR, atau Light Detecting and Ranging, alat canggih untuk mengindera medan 3D secara mendetail dan menghapus vegetasi secara digital.

Pekerjaan ini biasanya mengandalkan tim dari mahasiswa S1 ilmu arkeologi, yang harus memiliki softskill 3D dan digital, terang Oktaviana. Mahasiswa juga berperan untuk melakukan analisis, dan sebagai 'relawan' ekskavasi.

Contoh penggunaan LiDAR bisa dilihat dengan penemuan di Guatemala yang menemukan 60.000 struktur peradaban Maya kuno. Kini situs itu masih terpendam di bawah hutan lebat.

Cara membedakan benda prasejarah dan yang bukan

Penanggalan radiokarbon menunjukkan manuskrip ini usianya sekitar 1370 tahun (Lutfi Fauziah)

Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua

Demi mengetahui lebih detail terkait situs, para arkeolog harus melakukan ekskavasi. Sampel penemuan yang menarik dalam ekskavasi dapat dianalisa lewat carbon dating.

Oktaviana memaparkan, sampel bisa digunakan lewat kerang yang diduga sisa makanan manusia purba, atau sisa pembakaran. Sisa pembakaran ini bisa menjadi acuan tentang lapisan tanah yang terbentuk untuk mengetahui umurnya.

"Bisa juga kita kalau ketemu itu ada kubur manusia di kedalaman satu meter. Itu bisa dalam puiblikasi di jurnal internasional, ada sistem pengecekan. Bisa dari tulangnya kita ambil, bisa juga dari arang yang satu konteks dengan tulang tersebut," terangnya.

Jalan pintas mengetahui sebuah kerangka adalah milik manusia purba juga bisa lebih mudah, bila masyarakat memiliki pengetahuan tersebut. Oktaviana memberi contoh pada situs Gua Harimau di Sumatera Selatan.

Baca Juga: DNA Pertama Penghuni Wallacea Ungkap Asal-Usul Penghuni Sulawesi

Perkakas dari tulang yang ditemukan di Gua Contrebandiers, Maroko. Sekilas, terlihat biasa saja di mata awam, tetapi goresan di sisinya mengindikasikan pernah digunakan sebagai alat. (Jacopo Niccolo Cerasoni)

"Dari 2009 itu, informasi pertama dari Bapak Ferdinata, orang dari masyarakat di Padang Bindu. Dia melaporkan—kan itu sebelumnya Arkenas penelitiannya di Karang Pelaluan—Nah, Pak Ferdinata itu ngasih tahu ada gua yang besar dan potensinya besar," terangnya.

Selanjutnya disurvei dan diekskavasi setiap tahunnya, hingga menemukan sekitar 81 individu di sana.

Ada pula perkakas yang digunakan manusia purba, seperti alat batu. Bagi orang awam sekilas seperti batu biasa, tetapi bagi arkeolog untuk mengetahuinya bisa diamati mendalam di lokasi. Penggunaan akan nampak pada sisa goresan atau kilap.

Lebih lanjut lagi, bisa diamati menggunakan mikroskop untuk mengetahui bekas menggores benda seperti tulang atau daging.

"Dari ekskavasi juga bisa lihat kalau ada tulang-tulang yang dipotong dari batu. Nah, bisa kelihatan berbentuk seperti V shape atau U, itu bisa dibedakan dari [dipotong dengan] batu atau bukan.

Biaya yang tak murah

Mulai dari alat, transportasi penelitian, hingga pemindaian seperti carbon dating, tentu membutuhkan biaya yang tidak murah. Oktaviana memaparkan, penelitian dari Arkenas mendapatkan bantuan dana setelah membuat proposal riset. Maksimal biaya yang diberikan setiap penelitian adalah Rp300 juta.

"Tahun depan kemungkinan akan berubah karena masuk di badan riset inovasi, BRIN," terangnya. "Kalau 2021 ke belakang, itu dari Balitbang Kemendikbud, dari APBN, itu ada skalanya."

Kalau riset kerjasama dari luar negeri, biasanya dari berbagai pihak. Mulai dari penyedia beasiswa, hingga lembaga nirlaba seperti National Geographic Society. Bedanya dengan penelitian dengan di dalam negeri, jangka waktu penelitian bisa lebih panjang dan jumlah biayanya lebih besar.

"Semoga ke depannya, lewat BRIN itu, penelitian bisa lebih meningkat lagi, sih," harapnya.

Baca Juga: Memetakan Seni Cadas di Perairan Papua, Menyingkap Peradaban Leluhur Nusantara