Puncak, Hulu (Persoalan) Ci Liwung

By , Rabu, 23 April 2014 | 21:00 WIB

Perubahan dua wilayah perkebunan teh di Puncak disinyalir memperparah kerusakan tutupan lahan. Sejak pertama kali didirikan sejak zaman Belanda, luas perkebunan teh telah berkurang hingga setengahnya. Saat ini perubahan tutupan lahan ini telah berpengaruh nyata terhadap kemampuan wilayah Puncak sebagai Daerah Tangkapan Air. Kawasan Puncak adalah hulu berbagai persoalan lingkungan Ci Liwung.

Ini diungkap dalam siaran pers Peringatan Hari Bumi 22 April, yang dikirimkan Ciliwung Institute (CI), merupakan forum kerja mewadahi kegiatan komunitas penyelamatan Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Degradasi kawasan puncak dan menurunnya daya dukung lingkungan kawasan ini berdampak penting terhadap timbulnya berbagai persoalan lingkungan di hilir Ci Liwung termasuk Kota Jakarta.

Berdasarkan informasi yang didapatkan selama pengumpulan informasi (pendekatan pemetaan partisipatif) di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, tidak hanya Perkebunan Ciliwung (PT Sumber Sari Bumi Pakuan) milik swasta yang tidak mampu mempertahankan luas wilayahnya, bahkan PTPN VIII (Perkebunan Teh Gunung Mas) pun telah mengalami pengurangan lahan yang sangat signifikan.

Di Desa Tugu Selatan vila pertama berada di dekat kantor desa, yang dimiliki oleh Sutan Tahdir Alisyahbana (alm.) sejak sekitar tahun 1970-an. Pada saat tersebut wilayah puncak masih dihiasi oleh rindangnya pohon-pohon besar, bahkan pemukiman pekerja teh masih harus dicapai dengan berjalan kaki.

Perubahan-perubahan wilayah menjadi villa di desa ini terjadi sejak tahun 1980-an. Salah satu ciri bahwa wilayah ini adalah daerah yang hijau, daerah di dekat RW 15 dikenal dengan sebutan Awi Iyuh yang berarti rumpuh bambu yang teduh.

Tidak beda halnya dengan Perkebunan Teh Gunung Mas, Perkebunan Teh Ciliwung terdesak dengan berbagai tekanan yang pada akhirnya membuat luas wilayah ini pun berkurang.

Perubahan-perubahan luas perkebunan memiliki implikasi yang besar—terhadap masyarakat dan perkebunan teh itu sendiri. Perubahan luas lahan Perkebunan ini diperkirakan berimplikasi langsung terhadap Pabrik Teh PT Ciliwung sehingga tak beroperasi lagi. Seharusnya pabrik tersebut dapat beroperasi secara optimal dengan pasokan luas teh seluas 1200 ha, dengan luas saat ini yang 562 ha teh langsung dijual ke luar perkebunan.

“Saat ini cukup sulit untuk dapat mengetahui secara pasti, sejak kapan, di mana, berapa luas, dan oleh siapa perubahan wilayah perkebunan teh. Hampir mustahil jika tidak ada keterbukaan informasi dari pihak yang berwenang untuk kembali membuka diri dan menata wilayah Puncak sesuai dengan hukum yang berlaku,” papar Ernan Rustiadi dari P4W IPB.

Pembongkaran vila sebagai wujud penegakan hukum atas pelanggaran tata ruang dan perizinan di kawasan puncak jika tidak disertai dengan penanganan akar persoalan-persoalan sosial, ekonomi lingkungan berpotensi menumbuhkan persoalan-persoalan lain.

Lemahnya kendali dan penegakan hukum atas praktik jual-beli tanah yang melanggar ketentuan berlaku menurunkan persoalan tata ruang yang tak habis-habisnya.

Persoalan ini berkaitan dengan kurang berkembangnya pilihan aktivitas ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Berbagai aktivitas wisatawan domestik, bisnis prostitusi, dan maraknya aktivitas komunitas pendatang dari mancanegara turut berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya setempat.

Hari Yanto dari Forest Watch Indonesia menyatakan, “Apakah wilayah puncak masih mampu memberikan fungsi wilayahnya dengan baik, terutama fungsi tata air? Jika melihat kondisi saat ini dan tidak ada perubahan pola pengelolaan wilayah yang nyata, tentunya hal ini akan semakin sulit dicapai.”