Perubahan dua wilayah perkebunan teh di Puncak disinyalir memperparah kerusakan tutupan lahan. Sejak pertama kali didirikan sejak zaman Belanda, luas perkebunan teh telah berkurang hingga setengahnya. Saat ini perubahan tutupan lahan ini telah berpengaruh nyata terhadap kemampuan wilayah Puncak sebagai Daerah Tangkapan Air. Kawasan Puncak adalah hulu berbagai persoalan lingkungan Ci Liwung.
Ini diungkap dalam siaran pers Peringatan Hari Bumi 22 April, yang dikirimkan Ciliwung Institute (CI), merupakan forum kerja mewadahi kegiatan komunitas penyelamatan Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Degradasi kawasan puncak dan menurunnya daya dukung lingkungan kawasan ini berdampak penting terhadap timbulnya berbagai persoalan lingkungan di hilir Ci Liwung termasuk Kota Jakarta.
Berdasarkan informasi yang didapatkan selama pengumpulan informasi (pendekatan pemetaan partisipatif) di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, tidak hanya Perkebunan Ciliwung (PT Sumber Sari Bumi Pakuan) milik swasta yang tidak mampu mempertahankan luas wilayahnya, bahkan PTPN VIII (Perkebunan Teh Gunung Mas) pun telah mengalami pengurangan lahan yang sangat signifikan.
Di Desa Tugu Selatan vila pertama berada di dekat kantor desa, yang dimiliki oleh Sutan Tahdir Alisyahbana (alm.) sejak sekitar tahun 1970-an. Pada saat tersebut wilayah puncak masih dihiasi oleh rindangnya pohon-pohon besar, bahkan pemukiman pekerja teh masih harus dicapai dengan berjalan kaki.
Perubahan-perubahan wilayah menjadi villa di desa ini terjadi sejak tahun 1980-an. Salah satu ciri bahwa wilayah ini adalah daerah yang hijau, daerah di dekat RW 15 dikenal dengan sebutan Awi Iyuh yang berarti rumpuh bambu yang teduh.
Tidak beda halnya dengan Perkebunan Teh Gunung Mas, Perkebunan Teh Ciliwung terdesak dengan berbagai tekanan yang pada akhirnya membuat luas wilayah ini pun berkurang.
Perubahan-perubahan luas perkebunan memiliki implikasi yang besar—terhadap masyarakat dan perkebunan teh itu sendiri. Perubahan luas lahan Perkebunan ini diperkirakan berimplikasi langsung terhadap Pabrik Teh PT Ciliwung sehingga tak beroperasi lagi. Seharusnya pabrik tersebut dapat beroperasi secara optimal dengan pasokan luas teh seluas 1200 ha, dengan luas saat ini yang 562 ha teh langsung dijual ke luar perkebunan.
“Saat ini cukup sulit untuk dapat mengetahui secara pasti, sejak kapan, di mana, berapa luas, dan oleh siapa perubahan wilayah perkebunan teh. Hampir mustahil jika tidak ada keterbukaan informasi dari pihak yang berwenang untuk kembali membuka diri dan menata wilayah Puncak sesuai dengan hukum yang berlaku,” papar Ernan Rustiadi dari P4W IPB.
Pembongkaran vila sebagai wujud penegakan hukum atas pelanggaran tata ruang dan perizinan di kawasan puncak jika tidak disertai dengan penanganan akar persoalan-persoalan sosial, ekonomi lingkungan berpotensi menumbuhkan persoalan-persoalan lain.
Lemahnya kendali dan penegakan hukum atas praktik jual-beli tanah yang melanggar ketentuan berlaku menurunkan persoalan tata ruang yang tak habis-habisnya.
Persoalan ini berkaitan dengan kurang berkembangnya pilihan aktivitas ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Berbagai aktivitas wisatawan domestik, bisnis prostitusi, dan maraknya aktivitas komunitas pendatang dari mancanegara turut berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya setempat.
Hari Yanto dari Forest Watch Indonesia menyatakan, “Apakah wilayah puncak masih mampu memberikan fungsi wilayahnya dengan baik, terutama fungsi tata air? Jika melihat kondisi saat ini dan tidak ada perubahan pola pengelolaan wilayah yang nyata, tentunya hal ini akan semakin sulit dicapai.”
Di dua wilayah desa ini, Tugu Utara dan Tugu Selatan daerah hijau yang masih dapat menyerap air dengan baik, kemungkinan hanya di sekitar wilayah Sungai Cisampay. Rumpun bambu di sekitar Kampung Cisampay ini diperkirakan memiliki luas tidak kurang dari 5 ha.
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, perkebunan teh bukanlah penyerap air yang baik, bahkan memiliki tingkat erosi yang tinggi. Secara tidak langsung penelitian-penelitian tersebut mendapatkan pembuktian nyata dari masyarakat.
Kebutuhan air di Puncak sejak sekitar 2000-an telah berubah dari pemanfaatan air sungai dan sumur menjadi hubungan yang sangat erat dengan mata air. Pipa dan selang air telah menjadi tulang punggung bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan air minum, bahkan vila pun memanfaatkan air dari mata air ini.
Sampai kapan mata air ini masih dapat bertahan? Penuturan dari kelompok-kelompok masyarakat menyatakan bahwa kondisi mata air yang berada di wilayah-wilayah perkebunan telah menuju kritis, banyak mata air yang semakin keruh karena erosi tanah yang ada di Perkebunan Ciliwung dan Gunung Mas, kondisi ini semakin menyulitkan pada saat tiba musim kemarau. Walau sumur dapat digali, namun air tanah yang ada keruh karena dangkal.
Penanganan persoalan kebiasaan membuang sampah dan limbah ke Ci Liwung juga perlu dimulai dari hulu persoalan, dari hulu Ci Liwung di kawasan ini. Upaya mengubah kebiasaan dan kemandirian masyarakat mengelola sampah memerlukan dukungan banyak pihak.
Baik melalui penguatan kelembagaan, pengadaan fasilitas kebersihan dan pengolahan sampah/limbah, hingga dukungan kebijakan pemerintah maupun pemuka agama.
Tedja Kusumah, penduduk yang bermukim di wilayah Puncak sekaligus Koordinator Komunitas Ciliwung Puncak (puncak.org) sangat gundah dan emosional dengan kondisi ini. “Untuk siapa atau untuk apa wilayah ini? Apa hanya dijadikan wilayah wisata tanpa perhatikan lingkungan? Apakah wilayah dan masyarakat setempatnya memang telah diposisikan untuk selalu menjadi objek penderita?” sengitnya. “Paling isu Ciliwung hanya ada di musim hujan, jika kemarau telah mulai saya yakin, Puncak dilupakan.”
Ajak aksi bersama
Persoalan lingkungan di kawasan puncak membutuhkan pendekatan-pendekatan yang tepat dan menyentuh kebutuhan masyarakat setempat. Pendekatan penegakan hukum akan sia-sia jika tanpa disertai upaya menghidupkan aktivitas ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Gerakan aksi penyelamatan kawasan puncak adalah upaya untuk menghimpun partisipasi para pihak (pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dunia usaha, dan akademisi) sesuai dengan kapasitasnya masing-masing di dalam penyelamatan keberlanjutan kawasan puncak.
Kawasan puncak menyimpan berbagai peluang usaha bagi lomunitas lokal yang lebih ramah lingkungan dan tidak berbasis pada eksploitasi sumberdaya fisik lingkungan.