Kisah Kopi Arabica Aceh

By , Minggu, 25 Mei 2014 | 16:10 WIB
()

Untung sedikit 

Ratusan kilometer dari Banda Aceh, petani Kopi Arabica di dataran tinggi Gayo, sedikit-banyak ikut merasakan imbas ekonomi dari upaya sistematis memasyarakatkan kopi Arabiya, meskipun hasilnya belum seperti yang dibayangkan. 

Bachtiar, petani kopi di Takengon, Aceh Tengah, mengatakan, perubahan konsumsi dari kopi Robusta ke kopi Arabica yang belakangan terlihat di wilayah Aceh dan sekitarnya, belum berdampak luar biasa kepada keuntungan mereka. 

"Petani kopi ini sangat tergantung pada harga yang ditetapkan oleh paratauke (pembeli lokal). Tauke menetapkan harga berdasarkan kurs Dollar AS dan nilai jual di luar negeri," kata pria yang berusia 46 tahun ini. 

Jadi, "meningkatnya konsumsi kopi Arabica di masyarakat, tidak terlalu besar pengaruhnya kepada petani. Namun yang lebih besar pengaruhnya kepada pedagang kopi atau pengusaha yang membuka kafe kopi." 

"Kalau tingkat petani cuma 5% naik grafik keuntungannya," tambahnya. 

Meskipun demikian, akunya, kini petani kopi di Gayo dan sekitarnya mulai bersemangat untuk merawat lebih intensif pohon kopinya. 

Konsumsi luar negeri 

 Sampai tiga tahun lalu, nilai ekspor kopi Arabica Aceh naik sekitar US$50 juta jika dibandingkan setahun sebelumnya. 

Sejumlah pengusaha kopi Arabica di Aceh mengaku, nilai ekspor kopi Aceh masih lebih besar dibanding keuntungan yang diperoleh untuk konsumsi lokal. 

Pemilik Kopi Ulee Kareng, Asnawi, salah-satu pengusaha kopi yang memiliki kedai kopi terkenal di Banda Aceh, mengatakan, orang Aceh sejauh ini masih menyukai kopi jenis Robusta, walaupun masyarakat mulai mengkonsumi Arabica. "Sekarang ini karena perubahan keadaan, dia mengkonsumsi kopi Arabica, tapi tidak sebanding dengan Robusta," kata Asnawi. 

Menurutnya, kopi Robusta merupakan pasaran sehari-hari di Aceh. "Kalau kita produksi kopi Robusta sehari 5 ton, Arabica cuma 1 ton," ujarnya, memberi contoh. 

Dia menambahkan, sejauh ini pihaknya lebih banyak mengekspor kopi Arabica ketimbang untuk konsumsi lokal. Sebaliknya, pengusaha kopi dan pemilik Kedai Warung Rumoh Aceh, M Nur menyatakan, belakangan keuntungannya dari pasar lokal lebih menjanjikan ketimbang dari nilai ekspor. 

Bagaimanapun, upaya memperkenalkan kopi Arabica asal Gayo terus dilakukan, sehingga masyarakat Aceh pencinta kopi makin mengenalnya. 

Harapan agar pengembangan kopi asli Aceh ini berimbas kepada penghasilan petani tentu patut didukung.