Singkap Sumenep, Kenapa Warga Pesisir Gemar Rebahan di Kasur Pasir?

By Galih Pranata, Kamis, 30 September 2021 | 18:00 WIB
Selepas Shalat Dzuhur, masyarakat pulang dengan bersepeda dari Masjid Agung Sumenep. Masjid ini dirancang oleh orang Tionghoa. (Andi Prianto/National Geographic Indonesia)

Risetnya menunjukan budaya leluhur yang berumur ratusan tahun yang masih dipertahankan hingga hari ini. "Sejarah awalnya diperkirakan dari persahabatan dua nelayan (cikal bakal komunitas nelayan Sumenep) yang terdapat di wilayah Sumenep," tulisnya.

Suatu ketika, kedua nelayan tersebut telibat pada perseteruan, membuat mereka saling serang menyerang. "Mereka memutuskan tidur di atas pasir dan mereka percaya bahwa tidur di atas pasir dapat melindungi mereka dari mara bahaya," tambahnya.

Kisah tersebut dimulai dari tindakan saling serang diantara keduanya. "Mereka mulai melemparkan sihir (santet) ke masing-masing rumah yang mereka huni, namun sihir itu tak pernah sampai," terang Ulfa. Keduanya seolah terlindungi dan tak ada yang terluka satu sama lain.

Tiba disaat salah satu nelayan berupaya menikam musuhnya yang tengah tertidur. Nelayan yang sedang merebahkan tubuhnya di pasir itu, kemudian menyadari lalu melempar pasir ke wajah si penikam. "Pasir tersebut dilemparkan ke wajah penikam, mengenai matanya, membuatnya kesulitan melihat lalu jatuh tersungkur," tambahnya.

 Baca Juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep

Pasir bisa memenuhi semua ruangan rumah, termasuk ruang keluarga dan dapur. Tampak seorang ayah dan putrinya tengah rebahan di kasur pasir. (Vina)

Singkat cerita, pertikaian itu berakhir tanpa adanya yang terluka. Baik si penikam maupun calon korban, mulai menyadari bahwa beberapa kali pasir telah melindungi mereka dari kejahatan. Mulai dari sihir yang tak pernah sampai karena keberadaan pasir di dalam rumahnya, hingga upayanya yang digagalkan oleh pasir yang mengenai matanya dan menggagalkan kejahatannya.

"Nelayan yang hendak menikam, kemudian meminta maaf atas perbuatannya yang kelewat batas," tulis Ulfa Anisa. Pada akhirnya, keduanya bersahabat kembali seperti sedia kala.

"Sampai hari ini, mereka (warga Sumenep) masih melakukan berbagai aktivitas mulai dari tidur, bermain, bersantai, beristirahat, transaksi jual beli, bahkan pada kebutuhan khusus seperti pada saat melahirkan atau menidurkan anaknya, pun dilakukan diatas kasur pasir," tegas Ulfa.

Masyarakat pesisir, melakukan kegiatan tidak terlepas dari pasir. Mulai dari mengasuh anak, menerima tamu, melakukan pekerjaan rumah. Seperti halnya saat orang dewasa memperbaiki jalan, anak anak bermain dipasir, di teras rumah dan di halaman mereka ada pasir.

Berbeda dengan pasir laut lainnya, tekstur pasir di Sumenep sangat halus dan lembut, berwarna coklat muda. "Pasir itu menjadi identitas pasir di kawasan Sumenep, sehingga memungkinkan warganya untuk melanjutkan tradisi tidur di atas pasir," terang Ulfa.

Baca Juga: Ika Arista dan Kisahnya Menjadi Empu Milenial Asal Sumenep Madura