Singkap Sumenep, Kenapa Warga Pesisir Gemar Rebahan di Kasur Pasir?

By Galih Pranata, Kamis, 30 September 2021 | 18:00 WIB
Selepas Shalat Dzuhur, masyarakat pulang dengan bersepeda dari Masjid Agung Sumenep. Masjid ini dirancang oleh orang Tionghoa. (Andi Prianto/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat di beberapa desa di pesisir pantai Kabupaten Sumenep, Madura, memiliki kebiasaan unik: tradisi tidur di pasir. Mereka menyebut pasir tempat tidur pun dengan sebutan kasur pasir.

Bahkan, saking cintanya dengan budaya tidur diatas pasir, muncul semboyan "ranjang dipajang, pasir digelar". Bagi mereka, ranjang hanya sebagai barang pajangan atau tidak dipakai. Mereka tetap memilih untuk tidur di atas hamparan pasir.

Ulfa Anisa dalam tulisannya yang dipublikasi oleh Researchgate pada tahun 2018, dengan judul Melestarikan Tradisi Lokal: Kampung Kasur Pasir berupaya menjelaskan tentang seluk beluk budaya unik, masyarakat Legung Timur, Sumenep yang mempertahankan tradisi lokal tidur di atas pasir.

Risetnya menunjukan budaya leluhur yang berumur ratusan tahun yang masih dipertahankan hingga hari ini. "Sejarah awalnya diperkirakan dari persahabatan dua nelayan (cikal bakal komunitas nelayan Sumenep) yang terdapat di wilayah Sumenep," tulisnya.

Suatu ketika, kedua nelayan tersebut telibat pada perseteruan, membuat mereka saling serang menyerang. "Mereka memutuskan tidur di atas pasir dan mereka percaya bahwa tidur di atas pasir dapat melindungi mereka dari mara bahaya," tambahnya.

Kisah tersebut dimulai dari tindakan saling serang diantara keduanya. "Mereka mulai melemparkan sihir (santet) ke masing-masing rumah yang mereka huni, namun sihir itu tak pernah sampai," terang Ulfa. Keduanya seolah terlindungi dan tak ada yang terluka satu sama lain.

Tiba disaat salah satu nelayan berupaya menikam musuhnya yang tengah tertidur. Nelayan yang sedang merebahkan tubuhnya di pasir itu, kemudian menyadari lalu melempar pasir ke wajah si penikam. "Pasir tersebut dilemparkan ke wajah penikam, mengenai matanya, membuatnya kesulitan melihat lalu jatuh tersungkur," tambahnya.

 Baca Juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep

Pasir bisa memenuhi semua ruangan rumah, termasuk ruang keluarga dan dapur. Tampak seorang ayah dan putrinya tengah rebahan di kasur pasir. (Vina)

Singkat cerita, pertikaian itu berakhir tanpa adanya yang terluka. Baik si penikam maupun calon korban, mulai menyadari bahwa beberapa kali pasir telah melindungi mereka dari kejahatan. Mulai dari sihir yang tak pernah sampai karena keberadaan pasir di dalam rumahnya, hingga upayanya yang digagalkan oleh pasir yang mengenai matanya dan menggagalkan kejahatannya.

"Nelayan yang hendak menikam, kemudian meminta maaf atas perbuatannya yang kelewat batas," tulis Ulfa Anisa. Pada akhirnya, keduanya bersahabat kembali seperti sedia kala.

"Sampai hari ini, mereka (warga Sumenep) masih melakukan berbagai aktivitas mulai dari tidur, bermain, bersantai, beristirahat, transaksi jual beli, bahkan pada kebutuhan khusus seperti pada saat melahirkan atau menidurkan anaknya, pun dilakukan diatas kasur pasir," tegas Ulfa.

Masyarakat pesisir, melakukan kegiatan tidak terlepas dari pasir. Mulai dari mengasuh anak, menerima tamu, melakukan pekerjaan rumah. Seperti halnya saat orang dewasa memperbaiki jalan, anak anak bermain dipasir, di teras rumah dan di halaman mereka ada pasir.

Berbeda dengan pasir laut lainnya, tekstur pasir di Sumenep sangat halus dan lembut, berwarna coklat muda. "Pasir itu menjadi identitas pasir di kawasan Sumenep, sehingga memungkinkan warganya untuk melanjutkan tradisi tidur di atas pasir," terang Ulfa.

Baca Juga: Ika Arista dan Kisahnya Menjadi Empu Milenial Asal Sumenep Madura

Rumah-rumah penduduk di desa tersebut seperti rumah pada umumnya. Ulfa meneruskan, Hanya saja, hal yang membedakan adalah disetiap kamar tidur di dalam rumah terdapat kolam pasir berbentuk persegi, berukuran sekitar 2x2 yang dipakai untuk alas tidur, yang mereka sebut dengan kasur pasir.

"Saat mereka lelah sehabis bekerja, mereka melepas lelah dengan duduk dan rebahan dipasir, mereka juga menerima tamu atau ngobrol dengan tetangga atau kerabat di pasir yang diletakkan dihalaman," tulis Eko Mulyadi.

Eko Mulyadi, bersama dengan Syaifurrahman Hidayat dan Dian Ika Puspitasari, mengisahkan hasil risetnya tentang budaya masyarakat Sumenep. Mereka menuliskannya dalam Jurnal Keperawatan, berjudul Perilaku, Support System, dan Kebiasaan Sehari-hari Masyarakat Adat Kampung Pasir. Jurnalnya dipublikasi pada Maret 2021.

Baca Juga: Rumah Bheley, Rumah Berlanggam Paduan Madura Cina di Bangkalan

Buruh pikul memindahkan keranjang demi keranjang garam dari ladang di Sumenep. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

"Khususnya pada bulan purnama semua anggota keluarga berkumpul di halaman. Mereka menikmati bulan purnama semalam suntuk, bercengkrama hingga menjelang pagi dan memilih tidur di luar," tulis Eko.

Dahulu, proses melahirkan dibantu dukun, dilakukan diatas pasir. "Mereka melahirkan di atas pasir membuat darah tidak akan mengalir karena langsung diserap pasir sehingga mudah dibuang," lanjutnya. Namun, generasi saat ini tidak lagi melahirkan di pasir. Masyarakat Sumenep modern sudah melahirkan di bidan, bahkan dilarang melahirkan di atas pasir.

Baca Juga: Hikayat Garam di Pulau Madura, Cermin Pertautan Manusia dan Alam

Potret seorang anak dan ayahnya tengah tertidur lelap diatas pasir di Sumenep. Masyarakat di beberapa desa di pesisir pantai Kabupaten Sumenep, Madura, memiliki kebiasaan unik, yaitu tidur di pasir. (yan.vn)

Mereka mempercayai banyak hal sehingga memutuskan untuk melakukan segala aktivitasnya di atas pasir. "Beristirahat di atas pasir akan lebih rileks dibandingkan diatas kasur," tambahnya.

Hasil penelitian laboratorium yang ditulis oleh Ulfa Anisa, mengungkapkan bahwa jenis pasir yang mereka jadikan sebagai alas untuk tidur mengandung beberapa unsur. 

"Terdapat Alumina Oksida (AL2O3), Kalsium Oksida (CaO), Oksida Besi (Fe2O3), Magnesium Oksida (MgO), Timbal (Pb) dan lain-lain," tulis Ulfa. Kalsium Oksida (CaO) secara kimiawi memiliki daya pelepas panas.

"Unsur tersebut dapat menimbulkan pengaruh hangat, sehingga dapat memperlancar peredaran darah pada tubuh manusia, yang kemudian memperbaiki metabolisme tubuh dan pada akhirnya menciptakan kekebalan tubuh (peningkatan imunitas tubuh)," pungkasnya.

Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura