Sengkon dan Karta, Petani Miskin asal Bekasi Korban Geger 1965

By Galih Pranata, Jumat, 1 Oktober 2021 | 15:00 WIB
Seorang yang diduga terkait gerakan komunis tengah diciduk militer, peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang sejarahnya sendiri belum selesai ditulis. (Public Domain)

Sengkon dan Karta disiksa lalu ditangkap dengan tuduhan perampokan juga pembunuhan. Berdasar kesaksian warga, Sengkon dan Karta meminjam uang kepada Solaeman, yang dikenal sebagai orang kaya di daerah tersebut. 

Namun, mereka selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik karena perbedaan status ekonomi. "Mungkin karena sering diperlakukan tidak baik oleh Solaeman, warga menuduh mereka yang membunuh dan merampok hartanya," tulis Rully Adriansyah dan Tanti Agustiani.

Mereka menafsirkan bait demi bait, sajak indah yang menyayat, karya Peri Sandi Huizche dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tulisannya berjudul Representasi Konteks Sejarah dalam Puisi Esai Mata Luka Sengkon Karta, terbit pada 2020.

Dipa Nusantara Aidit (1923-1965), seorang Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia, tengah berpidato. Pergaulan dengan buruh yang menentukan jalan dan sikap politiknya hingga akhirnya memimpin PKI. (Wikimedia Commons)

"Negeriku, waktu itu masih dirundung rasa cemas, segala kejahatan dianggap golongan kiri (PKI)," tulis mereka.

Selain keadaan ekonomi yang rumit, ditambah dengan kondisi anak Karta yang jatuh sakit. Mau tak mau ia harus meminjam uang kepada Solaeman. Sedangkan, Sengkon mendapatkan cacian dari warga dan mendapat julukan golek beureum karena ia keturunan dari keluarga rampok.

"Aku bukan penjahat! aku bukan sedang menggugat! di tahun ini bicara jujur malah ancur, membele sedikit dianggap PKI, diam tak ada jawaban, tak ada pilihan," sajak Peri Sandi tentang kebimbangan sosok Karta. Saat itu tengah terjadi krisis sosial. Orang yang keras dengan pemerintahan, maka akan dianggap golongan kiri atau PKI, begitu juga dengan para pembunuh dan perampok.

Gunel Siih yang mengetahui bahwa saudaranya, Sengkon, telah dihukum, kemudian menggerutu. "Yang benar tapi disalahkan, Aku salah tapi lolos dari hukum". Kesaksian itu mengungkap bahwa sebenarnya Sengkon dan Karta belum terbukti atas tuduhan-tudahan itu.

Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965

Mahasiswa dengan foto Sukarno yang dijarah dari sebuah toko milik seseorang yang dianggap komunis pada 1965. (Public Domain)

"Krisis sosial dan kemanusiaan, tak pelak mendorong pemerintah untuk menutup mata dan telinga. Mereka tak melakukan investigasi lebih lanjut, malah secara gegabah menjatuhkan vonis kepada Sengkon dan Karta," pungkas Rully dan Tanti.

Beruntung, ada sosok Gunel yang terus menggerutu. Dibantu dengan Abert Hasibuan, seorang pengacara yang  mengupayakan peninjauan kembali terhadap kasus pembunuhan Solaeman.

Atas kasus Sengkon dan Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini. 

Pada Akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Mereka akhirnya dibebaskan dari penjara pada Januari 1981 karena terbukti tidak bersalah, meski telah mendekam sekitar tujuh tahun di penjara.

Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau