Sengkon dan Karta, Petani Miskin asal Bekasi Korban Geger 1965

By Galih Pranata, Jumat, 1 Oktober 2021 | 15:00 WIB
Seorang yang diduga terkait gerakan komunis tengah diciduk militer, peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang sejarahnya sendiri belum selesai ditulis. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Geger 1965 berimbas pada kehidupan sosial masyarakat kelas bawah. Para tertuduh PKI hingga anak-cucunya, dicap sebagai perampok dan pembunuh oleh masyarakat. Peri Sandi Huizche menggubah puisi yang menyayat hati berjudul Mata Luka Sengkon Karta, berkisah tentang rentetan peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia.

Aku seorang petani Bojongsari

Menghidupi mimpi dari padi yang ditanam sendiri

Kesederhaan panutan hidup

dapat untung dilipat dan ditabung

Demikian salah satu bait dalam puisi Peri Sandi. Ia menuliskannya dalam buku kumpulan esai, berjudul Mata Luka Sengkon Karta, yang diterbitkan oleh PT. Jurnal Sajak Indonesia pada 2013. 

Sengkon dan Karta merupakan dua tokoh dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Mereka tinggal di Bojongsari, salah satu desa terpencil di Bekasi. Di bait-bait pertama, puisinya mengisahkan tentang petani yang berupaya mencukupi kebutuhan hidupnya secara susah payah.

Akulah Sengkon yang sakit

berusaha mengenang setiap luka

di dada

di punggung

di kaki

di batuk...

yang berlapis tuberkulosis

 

Di zaman yang serba rumit itu, seorang petani yang bernama Sengkon, susah payah untuk mencari penghasilan. Apalagi, ditambah dengan kondisi yang menuntutnya bergelut dengan penyakit tuberkulosis yang di idapnya.

Waktu itu, tahun 1974, menjadi latar dimulainya kisah yang menggores luka. Sengkon mengingat masa-masa dalam hidupnya melalui luka dan darah yang keluar dari tubuhnya.

Sebuah penanda sejarah tertanggal 25 Desember 1965, yang merupakan tanda terima kasih RPKAD kepada UGM yang telah membantu menumpas Operasi Gestapu/PKI di Djawa Tengah. Belakangan, piagam ini mengingatkan publik ketika mengenang 50 tahun peristiwa pembantaian besar-besaran di Indonesia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

Malam Jumat,

21 November 1974 

Setiap malam jum’at

yasin dilantunkan dengan hidmat

bintang-bintang berdzikir di kedipannya

Istriku masih mengenakan mukena

mengambilkan minum dari dapur

Di kejauhan terdengar warga desa gaduh

'adili si keluarga rampok itu'

'ya… usir dari kampung ini'

'bakar saja rumahnya'

'betul',

 

Rasa bingung menyelimuti keluarga miskin itu. Apa yang sesungguhnya terjadi?

 

Istriku kaget

'kok kamu, kang?'

kebingungan

'Demi Allah saya tidak berbuat jahat!'

 

Lantas, kemudian Sengkon keluar, menghampiri warga dan aparat yang telah berkerumun di pekarangan rumahnya.

Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

Militer mengumpulkan warga yang diduga terkait Partai Komunis Indonesia dan oragnisasi di bawahnya, Desember 1965. Peristiwa seperti ini menjamur di Jawa dan Bali pasca-Geger 1965. (Perpustakaan Nasional Indonesia)

aku masih diselimuti kebingungan

disambut rajia seluruh badan

Kepalaku ditodong senjata laras panjang

mendekati puluhan ABRI dan Polisi

duk! dak!

aku dikerumuni pukulan warga

ABRI dan Polisi

ikut-ikutan menendang

 

Peri Sandi menggambarkan luapan kemarahan warga. Tak ada rasa kasihan dan peri kemanusiaan yang bisa menolong tubuh ringkih Sengkon. Seluruh perkataan keji terlontar kepadanya.

 

Bagong siah!

dulur aing paeh

gara-gara sia!

 

Sialan kamu, saudara saya (Solaeman) meninggal gara gara kamu, celetuk warga dalam penggambaran Peri Sandi. Sengkon tidak hanya dikatai rampok, tetapi juga dia dituduh sebagai pelaku pembunuhan Solaeman, salah satu warga yang kaya di desa Bojongsari.

 

Aku terkapar di tanah

seorang ABRI menggusurku

darah dan becek tanah bercampur di tubuh

Aku dilemparkan ke atas bak mobil

kondisi diantara sadar atau tidak

Selang kejadian

sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil

Ada sebagian tubuh yang menindih

kuperhatikan wajah yang penuh luka itu

Karta?

Baca Juga: Soe Tjen Marching: Pemerintah Harus Akui Pemerkosaan Tionghoa 1965

Sengkon dan Karta disiksa lalu ditangkap dengan tuduhan perampokan juga pembunuhan. Berdasar kesaksian warga, Sengkon dan Karta meminjam uang kepada Solaeman, yang dikenal sebagai orang kaya di daerah tersebut. 

Namun, mereka selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik karena perbedaan status ekonomi. "Mungkin karena sering diperlakukan tidak baik oleh Solaeman, warga menuduh mereka yang membunuh dan merampok hartanya," tulis Rully Adriansyah dan Tanti Agustiani.

Mereka menafsirkan bait demi bait, sajak indah yang menyayat, karya Peri Sandi Huizche dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tulisannya berjudul Representasi Konteks Sejarah dalam Puisi Esai Mata Luka Sengkon Karta, terbit pada 2020.

Dipa Nusantara Aidit (1923-1965), seorang Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia, tengah berpidato. Pergaulan dengan buruh yang menentukan jalan dan sikap politiknya hingga akhirnya memimpin PKI. (Wikimedia Commons)

"Negeriku, waktu itu masih dirundung rasa cemas, segala kejahatan dianggap golongan kiri (PKI)," tulis mereka.

Selain keadaan ekonomi yang rumit, ditambah dengan kondisi anak Karta yang jatuh sakit. Mau tak mau ia harus meminjam uang kepada Solaeman. Sedangkan, Sengkon mendapatkan cacian dari warga dan mendapat julukan golek beureum karena ia keturunan dari keluarga rampok.

"Aku bukan penjahat! aku bukan sedang menggugat! di tahun ini bicara jujur malah ancur, membele sedikit dianggap PKI, diam tak ada jawaban, tak ada pilihan," sajak Peri Sandi tentang kebimbangan sosok Karta. Saat itu tengah terjadi krisis sosial. Orang yang keras dengan pemerintahan, maka akan dianggap golongan kiri atau PKI, begitu juga dengan para pembunuh dan perampok.

Gunel Siih yang mengetahui bahwa saudaranya, Sengkon, telah dihukum, kemudian menggerutu. "Yang benar tapi disalahkan, Aku salah tapi lolos dari hukum". Kesaksian itu mengungkap bahwa sebenarnya Sengkon dan Karta belum terbukti atas tuduhan-tudahan itu.

Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965

Mahasiswa dengan foto Sukarno yang dijarah dari sebuah toko milik seseorang yang dianggap komunis pada 1965. (Public Domain)

"Krisis sosial dan kemanusiaan, tak pelak mendorong pemerintah untuk menutup mata dan telinga. Mereka tak melakukan investigasi lebih lanjut, malah secara gegabah menjatuhkan vonis kepada Sengkon dan Karta," pungkas Rully dan Tanti.

Beruntung, ada sosok Gunel yang terus menggerutu. Dibantu dengan Abert Hasibuan, seorang pengacara yang  mengupayakan peninjauan kembali terhadap kasus pembunuhan Solaeman.

Atas kasus Sengkon dan Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini. 

Pada Akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Mereka akhirnya dibebaskan dari penjara pada Januari 1981 karena terbukti tidak bersalah, meski telah mendekam sekitar tujuh tahun di penjara.

Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau