Kontaminasi Parasetamol di Teluk Jakarta, Apa Dampak Bagi Biota Laut?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 2 Oktober 2021 | 12:00 WIB
Teluk Jakarta terpapar parasetamol. Zat kimia dari obat pereda demam ini bisa berdampak buruk bagi biota laut. (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.id - Para peneliti mendeteksi adanya paparan polusi parasetamol di Teluk Jakarta dan perairan pantai utara Pulau Jawa. Temuan itu dipublikasikan agustus lalu di Marine Pollution Bulletin dengan judul High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia.

Paparan jenis obat seperti parasetamol ini bisa membahayakan bagi biota laut, khususnya kerang biru (Mytilus edulis).

Kontaminasi itu ditemukan di empat titik di Teluk Jakarta, seperti di Cilincing, Tanjung Priok, Ancol, dan Angke. Sedangkan titik lainnya di Teluk Eretan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Mereka menggunakan sampel air laut yang diambil dari kelima lokasi pada 2017, yang kemudian diamati di Water Laboratory Nusantara (WLN).

Baca Juga: Pengamatan Terbaru: Masih Ada Burung Terancam Punah di Teluk Jakarta

Kontaminasi parasetamol di lautan sendiri menjadi fokus penelitian penulis utama studi Wulan Koagouw, dari University of Brighton dan Pusat Riset Oseanografi LIPI. Alasannya, parasetamol adalah obat yang sering digunakan di seluruh dunia untuk meredakan demam.

"Jadi [penelitian] ini adalah salah satu bagian dari penelitian saya mengenai impact parasetamol ke kerang, karena saya sendiri meneliti efek dari beberapa kontaminan ke organisme, dalam hal ini kerang biru," katanya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Sabtu (02/10/2021).

Penelitian kontaminasi parasetamol sudah banyak dilakukan di negara lain, hingga akhirnya ia bersama tim memutuskan untuk menelitinya di Indonesia. Awalnya, dia beranggapan karena Indonesia adalah negara yang padat penduduk, tentunya akan ada banyak paparan limbah ini di laut. 

Baca Juga: LIPI: Akibat Covid-19, Sampah APD Banyak Ditemukan di Teluk Jakarta

Parasetamol yang mencemari laut dapat mengancam organ reproduksi Kerang Biru (Mytilus edulis). Padahal biota ini berperan untuk menjaga hewan kecil dan menyaring air laut di tepian. (Piqsels)

Lewat penelitiannya bersama tim pada Juli 2019 dan April 2021 di jurnal Environmental Science and Pollution Research, ia mengungkap parasetamol telah berdampak lumayan signifikan pada  gonad, atau organ reproduksi kerang biru.

Dampaknya bahkan dapat diamati dalam transkripsi beberapa gen gonad kerang biru yang berubah, baik yang terlibat dalam reproduksi maupun apoptosis. Apoptosis adalah mekanisme biologi yang terkait pada proses kematian sel yang terprogam dan diatur secara genetik.

"Karena levelnya adalah molekular, jadi itu akan lebih terkait dengan fungsi atau fisiologi dari kerang tersebut," jelasnya. "Gen itu seperti blueprint dari kemampuan kita."

Kerang biru adalah biota yang berperan untuk menyaring air laut yang diketahui cukup bertahan terhadap kontaminan, sebagai pelindung ikan kecil di laut, dan menjadi indikator ideal bagi para ilmuwan untuk melihat seberapa jauh zat kimia mencemari laut. Dalam laporan lain, populasinya ini turun 40 persen dalam 50 tahun terakhir.

Makhluk ini sebenarnya lebih mudah dijumpai di perairan Eropa, dan bahkan menjadi makanan pokok di beberapa negara seperti Belanda, Belgia, Portugis, Spanyol, Italia, dan Turki.

Saat penelitian hendak dilakukan pada 2017, Wulan hanya ingin memastikan paparan parasetamol di beberapa titik. Namun karena pagebluk COVID-19 terjadi, ia berencana untuk memperluas penelitiannya. Apalagi parasetamol menjadi rekomendasi perawatan, yang menyebabkan permintaan dan konsumsinya naik.

"Saya berharap bagaimana sekarang kondisinya di Teluk Jakarta, dan tentunya akan sangat menarik untuk dilihat di masa mendatang," katanya.

Baca Juga: Penemuan Dua Spesies Baru Kerang Air Tawar di Borneo yang Terancam

 

Teluk Jakarta terkontaminasi parasetamol. Zat kimia dari obat pereda demam itu mengancam biota laut, seperti kerang biru (Mytilus edulis). (Wikimedia Commons)

Penelitian seperti ini tentunya membutuhkan pendanaan yang serius untuk mengungkap data yang lebih banyak dan padat. Selain itu, karena parasetamol adalah sampah kimia yang dihasilkan manusia, maka lewat penelitian ini dan sejenisnya bisa membuka mata untuk penanganan limbah, ungkapnya.

Meski beberapa beberapa titik telah mengungkap keberadaan kontaminasi parasetamol, ia belum bisa menyimpulkan dari mana limbah itu berasal. Untuk mengungkapnya secara pasti, hal ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut, dan tidak menutup kemungkinan para peneliti lainnya bisa mengungkap asal muasalnya.

Kedepannya, Wulan berencana untuk melihat temuan lain terkait limbah zat obat-obatan di laut, terutama kontaminasi di perairan Indonesia dari zat yang masih baru dan belum ada datanya.