Mengenal Susan Goldberg, Perempuan Pertama yang Memimpin Ruang Redaksi National Geographic

By , Selasa, 23 September 2014 | 07:15 WIB

"Mari, kita toast. Untuk National Geographic Magazine dan para mitranya!" Suara perempuan itu memecah perbincangan kami—yang duduk mengelilingi meja panjang.

Ajakan itu tentu saja bersambut baik.

Kami segera membalasnya. Ada yang mengangkat gelas yang berisikan anggur merah, ada pula yang mengangsurkan botol minuman beralkohol di bawah sepuluh persen.

"Demi National Geographic!" Setelah toast, kami kembali sibuk dengan obrolan semula. Posisi duduk yang mengelilingi meja membuat kami tidak bisa bercakap-cakap dengan lawan bicara yang terpisah dua rekan di sebelah. Apalagi, yang berada di ujung meja. Tidak mungkin kan, bicara dengan suara seperti menelan pengeras suara. Ini bukanlah warung makan kasual. Kami berada di dalam restoran fine dining—The Hamilton, yang berada di salah satu sudut jalan 14th Street di Washington, DC, Amerika Serikat.

Walau terpisah oleh beragam topik pembicaraan, obrolan kami terasa hangat. Kami datang dari berbagai latar belakang budaya dan negara—meski juga tidak bisa disebut mewakili seluruh dunia. Tetapi, setidaknya, kumpulan ini berusaha menggali cerita dari setiap kolega yang baru dijumpainya.

!break!

Rekan-rekan dari Rusia begitu bersemangat dengan cerita berbau politik soal perpisahan Crimea dari Ukraina (Baca juga Siapakah Orang Tatar? dan Tatar Krimea Pertimbangkan Gelar Referendum).

Sementara, rekan dari wilayah Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia) tak kalah antusias dengan berbagai petualangan yang menarik dilakukan di sana.

Selebihnya, saya tidak begitu memerhatikan perbincangan rekan dari Latvia, Jerman, dan Amerika Latin.

Terlepas dari topik yang begitu luas, pengikat kami dalam persamuhan malam itu adalah Susan Goldberg—perempuan dengan suara lantang yang mengajak kami toast.

Dia pula yang mengajak kami—para perwakilan pengelola redaksi majalah National Geographic yang terbit dalam berbagai bahasa lokal—makan malam di restoran ini.

Lha, siapa dia ya?

!break!

Kalau Anda memerhatikan majalah kesayangan kita, National Geographic Indonesia, Susan telah diperkenalkan sebagai Pemimpin Redaksi yang kesepuluh sejak Majalah National Geographic terbit pada 1888.

Sejak April 2014, Susan secara resmi menduduki jabatan bergengsi itu. Ia juga sekaligus menjadi perempuan pertama yang tercatat memegang pekerjaan tadi. Ibu satu anak ini menggantikan Editor-in-Chief sebelumnya, Chris Johns—yang mendapatkan promosi jabatan sebagai Chief Content Officer.

Di sela perbincangan dengan rekan-rekan pengelola, saya mencoba berkenalan dengan Susan. Buat saya, ini adalah perjumpaan pertama dan dapat mengobrol secara intens—sekalipun dengan waktu terbatas.

Siapa sih  yang tak bangga saat punya kesempatan berbincang dengan pemimpin redaksi dari sebuah majalah yang memiliki 40 dialek lokal di seluruh dunia itu.

Lagipula menjadi orang nomor satu untuk menangani ruang redaksi majalah berusia 126 tahun itu bukanlah perkara mudah. Apalagi, Susan mendobrak kebiasaan Kotak Kuning yang biasanya memilih Sang Editor dengan pengalaman fotografi yang kuat. (Tidak usah heran lah, majalah ini memang mengutamakan penyajian visual nan rancak, selain kekuatan penuturan cerita yang mengasyikkan).

!break!

Saya mengangsurkan kartu nama, sekaligus menyapanya.

"Susan, saya dari National Geographic Indonesia. Ini kartu nama saya."

"Oh, hai. Wah, senangnya Anda bisa datang ke sini, ya. Saya senang bisa berjumpa dengan Anda."

Sebelum saya melanjutkan basa-basi berikutnya. Ia lebih dulu bertanya. "Anda sudah pernah ke DC sebelumnya?"

Saya menggeleng. "Ini pengalaman pertama saya di sini."

Susan pun tersenyum.

Sebelum ia kembali bertanya. Saya tak mau kalah, seolah ingin menguji wartawan senior ini, sekelumit pertanyaan terlontar.

Saya menanyakan sekelumit kisahnya sebelum bergabung dengan National Geographic pada Januari 2014. Ia mulai berkisah tentang dirinya.

!break!

Sebagai wartawan (terutama wartawan harian/berita), perempuan pemegang ijazah program jurnalistik dari Michigan State University ini sudah kenyang asam garam.

Saat liburan musim panas, di sela kuliah jurnalistiknya, ia mendapatkan kesempatan magang sebagai reporter di Seattle Post-Intelligencer selama delapan minggu. Jelang berakhir masa magangnya, ia dapat tawaran dari pemimpin redaksi harian itu, "Kenapa kamu tidak bekerja di sini?"

Setelah berdiskusi dengan ayahnya, Susan terima tawaran itu. Padahal, ia belum lagi kelar kuliah. Pada akhirnya, Susan berhasil lulus dengan mengambil kelas malam hari.

Karir Susan meningkat saat ia pindah ke Detroit Free Press. Ia bekerja sebagai reporter, sekaligus penyunting di tempat itu. Selama rentang 1989 – 1999, perempuan yang pernah tercatat sebagai president of the American Society of News Editors (2012 – 2013) ini menjabat wakil redaktur pelaksana di harian USA Today.

Dari situ, ia pindah ke koran San Jose Mercury News sebagai redaktur pelaksana. Pada 2003 – 2007, Susan mendapatkan promosi menjadi editor eksekutif di harian yang sama. Sebelum berkarir di Bloomberg News, Susan tercatat sebagai pemimpin redaksi harian The Plain Dealer, koran terbesar di Ohio (2007 – 2010).

!break!

Awal tahun ini, Susan seperti memberikan kado kepada instusinya, Bloomberg News: menanggalkan jabatan executive editor dan berpamitan kepada seluruh koleganya. Ia mengirimkan surat elektronik yang menyatakan perpisahan itu dan seterusnya ia memilih berkarir di Majalah National Geographic sebagai executive editor.

Rupanya, jabatan itu tak lama disandangnya. Gary Knell, CEO National Geographic Society dan Chris Johns telah menyiapkan sebuah rencana: Susan ditunjuk sebagai Editor-in-Chief pada April 2014.

Hal ini merupakan bagian dari restrukturisasi dari Gary sejak menduduki posisi tertinggi di lembaga non profit yang berusia 126 tahun itu pada Januari 2014.

Menurut Susan, dalam jabatannya kini, dirinya harus menjembatani dan merancang berita yang disampaikan melalui media digital (situs web) dengan majalah yang terbit bulanan.

Dalam sebuah topik tertentu, kata Susan, National Geographic harus tetap menjadi terdepan dalam penyampaian berita harian, yang disiarkan melalui digital dan pembaca pun mendapatkan penuturan yang mendalam (visual dan cerita) melalui majalah bulanan.

Salah satu contohnya, kisah kecelakaan sherpa dalam pendakian Gunung Everest yang terjadi pada tahun ini. Dalam edisi mendatang, National Geographic akan menurunkan kisah yang mendalam soal ini dalam majalah bulanan, sementara perkembangan kabar kecelakaan (yang juga diulas secara mendalam) telah terbit melalui situs web. 

Sebagai orang yang terlahir dalam dunia media cetak, upaya Susan memelajari perilaku audiens dunia digital patut diacungi jempol. Ia rajin berkicau melalui akun twitter pribadinya (@susanbgoldberg) yang menginformasi kabar dari lapangan—sebagaimana laporan para penulis National Geographic. Selain itu, kisah para fotografer yang unik.

Dan, ini sekaligus membuktikan bagaimana media digital dan media cetak dapat saling melengkapi dan menyajikan kekhasannya masing-masing—bukannya membunuh demi arogansi.

Susan pun adalah sosok yang menyenangkan dan berdiskusi hangat dengan kami—yang datang dari berbagai latar belakang budaya.