Peta itu kemungkinan digunakan oleh pangeran atau raja Zaman Perunggu untuk menandai kepemilikan atas area tertentu.
Wilayah itu kemungkinan dimiliki oleh entitas politik yang sangat hierarkis yang mengendalikan daerah itu di awal Zaman Perunggu.
Kesimpulan soal fungsi peta untuk penandaan wilayah diperkuat oleh pernyataan dari Yvan Pailler, seorang arkeolog dari Universitas Western Brittany. Menurutnya, orang dari Zaman Perunggu tidak menggunakan peta dari lempengan batu untuk bernavigasi.
Pada zaman itu, umumnya peta ditransmisikan dalam bentuk cerita atau kalimat. Misalnya untuk pergi ke titik A, Anda harus melewati sungai dan bukit.
Baca Juga: Linschoten, Kartografer Belanda yang Menentukan Takdir Nusantara
Lalu mengapa lempengan tersebut digunakan sebagai dinding kotak batu penampung mayat? Fakta bahwa itu kemudian dikubur bisa juga berarti bahwa itu adalah akhir dari kekuasaan raja atau pangeran. Teori lain menyimpulkan soal adanya penolakan terhadap kekuasaan yang dipegang oleh para elit atas masyarakat pada saat itu.
Arkeolog Paul du Chatellier menemukan lempengan itu pada tahun 1900. Setelah kematiannya, anak-anaknya menyumbangkan koleksi arkeologinya ke Museum Arkeologi Nasional Saint-Germain-en-Laye, di mana lempangan disimpan selama beberapa dekade.
Sementara itu, beberapa cendekiawan, termasuk Pailler dan Nicholas, membaca laporan du Chatellier tentang temuannya . Mereka menyimpulkan bahwa tanda lempengan itu dapat mewakili peta. Pada 2014, artefak itu pun ditemukan di ruang bawah tanah museum.
Kita cenderung meremehkan pengetahuan geografis masyarakat masa lalu. Lempengan ini penting karena menyoroti pengetahuan kartografi masyarakat dari Zaman Perunggu.
Baca Juga: Gara-gara Rempah: Pencurian Peta Hingga Ekspedisi Compagnie van Verre