Kemudian National Geographic Indonesia juga sebelumnya melaporkan, pagebluk corona yang mirip COVID-19 pernah merebak di Asia Timur 20.000 tahun silam. Para peneliti mengungkapnya berkat jejak keberadaan pagebluk itu pada rangkaian genetik masyarakat setempat.
Kirill Alexandrov salah satu peneliti dari Queensland University of Technology yang mengungkapkan keberadaan pagebluk corona purba mengatakan, temuan secara genetik ini bisa menjadi cara untuk membuat obat-obatan dan vaksin, mengantisipasi terjadi kembali di masa depan.
Penelitian terbaru yang memperkirakan adanya genetika manusia yang resisten terhadap COVID-19 menyarankan perlu banyak mengungkap tabir. Terutama, pada mereka yang dilaporkan secara genetik justru resisten terhadap SARS-CoV-2.
"Kami mengusulkan strategi untuk mengindentifikasi, merekrut, dan menganalisis secara genetik individu yang secara almi resisten terhadap infeksi SARS-CoV-2," tulis para peneliti.
"Pertama-tama kami fokus pada kontak rumah tangga yang tidak terinfeksi dari orang-orang dengan gejala COVID-19. Kemudian kami pertimbangkan individu yang terpapar kasus indekks tanpa alat pelindung diri, setidaknya selam satu jam per hari, dan selama tiga sampai lima hari pertama gejala di rumah."
Selanjutnya untuk meyakinkan harus dites usap PCR dan hasilnya harus negatif, tes darah negatif selama empat minggu setelah paparan. Tes darah ini berguna untuk mencari sel T agar memastikan bahwa orang tersebut memang belum pernah terinfeksi di masa lalu.
Mungkin kabar ini meyakinkan untuk mengentaskan pagebluk. Tapi itu tergantung pada perkembangan pengetahuan dan evolusi virus yang menentukan laju untuk menyudahi pagebluk yang masih belum pasti kapan berakhir.
Baca Juga: Situasi Pandemi Membaik, Indonesia Siapkan Strategi Jangka Panjang untuk Kendalikan Penularan