Nationalgeographi.co.id—Manusia secara genetik identik satu sama lain setidaknya 99,9 persen. Sisanya adalah keunikan masing-masing dari kita dari apa yang dihadapi, sentuh, bahkan kita bawa sejak lahir.
Bahkan genetika yang dimiliki anak kembar identik pun, ternyata masih memiliki celah perbedaan sekecil apa pun karena alasan yang sama. Dan inilah yang membuat kita unik, dari cara pandang hingga daya tubuh kita untuk kebal atau rentan terhadap suatu penyakit.
Pandangan ini menarik bagi para peneliti dari berbagai negara dalam studi yang dipublikasikan di Nature Immunology, Senin (18/10/2021). Penelitian itu berjudul A global effort to dissect the human genetic basis of resistance to SARS-CoV-2 infection, yang berharap dengan mempelajari gen khusus seperti ini, kita bisa membuat obat peniru atau vaksin dari perbedaan genetik kita.
Mereka mengamati dengan sampel beberapa orang di seluruh dunia yang dinilai memiliki kemungkinan untuk kebal terhadap virus SARS-CoV-2. Cara ini diharapkan gen kita bisa menjadi kunci potensial kita untuk meredakan pagebluk COVID-19.
"Pemahaman kita tentang patofisiologi COVID-19 yang mengancam jiwa telah berkembang pesat sejak penyakit ini pertama kali diperkenalkan pada Desember 2019," terang para peneliti yang dipimpin Evangelos Andreakos dari Biomedical Research Foundation of the Academy of Athens, Yunani.
"Tapi kita masih tahu sedikit tentang dasar genetik dan imunologis manusia tentang resistensi bawaan terhadap SARS-CoV-2," sambung mereka dalam makalah.
Secara mendasar mungkin para peneliti tidak memiliki informasi yang banyak terkait resistensi bawaan dalam genetika kita.
Baca Juga: Terkesan Remeh, Cuci Tangan Cegah Penularan Covid-19 hingga Penyakit Mematikan Pada Anak
Meski demikian, mereka berpendapat bukan berarti tidak ada, sebab dalam beberapa kasus di seluruh rumah tangga yang terinfeksi, hanya beberapa orang yang bisa terhindar. Sementara ada juga yang melaporkan tentang adanya beberapa orang yang terhindar dari COVID-19, meski sudah di lini penularan berkali-kali.
Perbedaan penularan itu juga dilaporkan dalam penelitian tahun 2020 di MedRxiv berjudul Relationship between the ABO Blood Group and the COVID-19 Susceptibility.
Para peneliti yang dipimpin Jiao Zhao dari The Southern University of Science and Technology, Shenzhen, Tiongkok, mengungkap bahwa golongan darah O menunjukkan lebih sedikit resisten terhadap infeksi kronis SARS-CoV-2, dari lainnya. Sementara yang paling rentan terpapar adalah golongan darah A.
Baca Juga: Wabah Virus Corona Sempat Merebak di Asia Timur 20.000 Tahun Lalu
Kemudian National Geographic Indonesia juga sebelumnya melaporkan, pagebluk corona yang mirip COVID-19 pernah merebak di Asia Timur 20.000 tahun silam. Para peneliti mengungkapnya berkat jejak keberadaan pagebluk itu pada rangkaian genetik masyarakat setempat.
Kirill Alexandrov salah satu peneliti dari Queensland University of Technology yang mengungkapkan keberadaan pagebluk corona purba mengatakan, temuan secara genetik ini bisa menjadi cara untuk membuat obat-obatan dan vaksin, mengantisipasi terjadi kembali di masa depan.
Penelitian terbaru yang memperkirakan adanya genetika manusia yang resisten terhadap COVID-19 menyarankan perlu banyak mengungkap tabir. Terutama, pada mereka yang dilaporkan secara genetik justru resisten terhadap SARS-CoV-2.
"Kami mengusulkan strategi untuk mengindentifikasi, merekrut, dan menganalisis secara genetik individu yang secara almi resisten terhadap infeksi SARS-CoV-2," tulis para peneliti.
"Pertama-tama kami fokus pada kontak rumah tangga yang tidak terinfeksi dari orang-orang dengan gejala COVID-19. Kemudian kami pertimbangkan individu yang terpapar kasus indekks tanpa alat pelindung diri, setidaknya selam satu jam per hari, dan selama tiga sampai lima hari pertama gejala di rumah."
Selanjutnya untuk meyakinkan harus dites usap PCR dan hasilnya harus negatif, tes darah negatif selama empat minggu setelah paparan. Tes darah ini berguna untuk mencari sel T agar memastikan bahwa orang tersebut memang belum pernah terinfeksi di masa lalu.
Mungkin kabar ini meyakinkan untuk mengentaskan pagebluk. Tapi itu tergantung pada perkembangan pengetahuan dan evolusi virus yang menentukan laju untuk menyudahi pagebluk yang masih belum pasti kapan berakhir.
Baca Juga: Situasi Pandemi Membaik, Indonesia Siapkan Strategi Jangka Panjang untuk Kendalikan Penularan