CONEFO dan PBB, Konfrontasi Soekarno dalam Politik Internasional

By Galih Pranata, Minggu, 24 Oktober 2021 | 16:10 WIB
Soekarno berpidato diantara komite Indonesia, Rusia dan beberapa negara lain dalam CONEFO. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Indonesia bersama Soekarno, kerap kali mendeklarasikan peran Indonesia dalam menjunjung tinggi perdamaian dunia. Indonesia menjadi negara yang sibuk dengan urusan luar negeri pada era demokrasi Terpimpin.

Indonesia berusaha menanamkan pengaruhnya melalui Non-Blok untuk memperkuat hubungan diplomasinya secara politik. Keyakinan atas prestasi luar biasa Indonesia dalam Non-Blok hingga Soekarno menyatakan akan mengadakan CONEFO pada tahun 1965.

Rencananya, ia akan mengundang negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara sosialis Eropa, dan negara progresif Amerika dan Eropa. "Namun, kondisi berbalik ketika Indonesia menyatakan keluar dari PBB," tulis Bayu Kurniawan dan Septina Alrianingrum.

Bayu dan Septina menjelaskan hasil risetnya tentang upaya Soekarno dalam membangun aliansi politik dunia barunya. Artikelnya dimuat dalam jurnal Avatara, berjudul Ganefo Sebagai Wahana dalam Mewujudkan Konsepsi Politik Luar Negeri Soekarno 1963-1967, publikasi tahun 2013. 

"Keputusan keluar dari PBB membuat Indonesia semakin terpuruk dalam pergaulan internasional, meskipun alasan Indonesia keluar dari PBB adalah masalah prinsip yang didukung oleh seluruh rakyat Indonesia," tulisnya.

"Soekarno memandang PBB sebagai organisasi internasional yang tidak mampu meredakan ketegangan di berbagai belahan dunia karena masih terhambat oleh kepentingan kaum imperialis dalam keanggotaan PBB," imbuhnya.

Baca Juga: Ideologi Pancasila, Pemikiran Mendalam Soekarno yang Kini Mulai Pudar

Saat itu, sekitar tahun 1960, Indonesia tengah berhadapan dengan Belanda di Papua Barat. Periode tersebut dianggap sebagai masa-masa yang berbahaya. "Soekarno menyebutnya vivere pericoloso (hidup dalam bahaya)," tulis Bayu dan Septina.

Selain permasalahan pelik itu, Indonesia juga dirundung masalah dengan Malaysia. "PBB yang saat itu dianggap sebagai 'wasit', malah mengangkat Malaysia sebagai anggota dewan tidak tetap PBB, membuat Soekarno geram dengannya (PBB)," ungkap William Redfern.

Redfern dalam bukunya berjudul Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s, yang diterbitkan pada tahun 2010, menjelaskan tentang alasan utama Soekarno 'memusuhi PBB'.

"Rasa muaknya memuncak. Pada 20 Januari 1965, Soekarno akhirnya menarik Indonesia keluar dari PBB dan angan-angan perdamaian semunya," lanjut Redfern. Tak berselang lama, Soekarno akhirnya mengumumkan rencana pendirian CONEFO sebagai tandingan PBB.

Negara-negara berkembang di Asia, ternyata tertarik dengan hadirnya CONEFO, tetapi antusiasme nyata datang dari negara-negara komunis seperti Tiongkok, Vietnam Utara, dan Korea Utara. "Mereka disinyalir sepakat untuk memerangi PBB yang merupakan anak emas dari Amerika Serikat, rivalitas ideologinya," tambahnya.