Dua Planet Bertabrakan sehingga Salah Satunya Kehilangan Atmosfernya

By Utomo Priyambodo, Senin, 25 Oktober 2021 | 19:00 WIB
Ilustrasi tabrakan dua planet. (NASA/JPL-Caltech)

Nationalgeographic.co.id—Para astronom menemukan bukti tabrakan antara dua planet dalam sistem tata surya muda yang berjarak 95 tahun cahaya dari Bumi. Menurut analisis mereka, debu yang tidak biasa di sekitar bintang muda berusia 23 juta tahun bernama HD 172555 adalah hasil dari tabrakan planet-planet yang begitu keras sehingga setidaknya melucuti bagian atmosfer salah satu planet tersebut.

"Ini adalah pertama kalinya kami mendeteksi fenomena ini, dari atmosfer protoplanet yang terlucuti dalam tabrakan raksasa," kata Tajana Schneiderman, astronom dari MIT.

"Semua orang tertarik untuk mengamati tabrakan raksasa karena kami memperkirakan peristiwa itu adalah hal yang biasa, tetapi kami tidak memiliki bukti dalam banyak sistem untuk itu. Sekarang kami memiliki wawasan tambahan tentang dinamika ini," ujarnya seperti dikutip dari Science Alert.

Proses pembentukan planet adalah proses yang rumit. Setelah sebuah bintang selesai terbentuk, piringan material-material yang tersisa kemudian berputar-putar dan bergolak. Material-material ini kemudian mulai menggumpal sehingga membentuk benih-benih planet.

Gumpalan-gumpalan yang lebih besar dan lebih besar ini bertabrakan dan bergabung, akhirnya mendapatkan massa yang cukup untuk inti yang berbeda untuk menetap di pusat, dan akhirnya menjadi sebuah planet.

Namun, tidak setiap bayi planet bertahan. Sebagai contoh, salah satu planet seukuran Mars yang tidak masuk Tata Surya bertabrakan dengan Bumi sehingga terciptalah Bulan.

Baca Juga: Apa yang Sesungguhnya Terjadi Apabila Dua Galaksi Bertabrakan?

Para astronom berpikir bahwa kebanyakan planet juga tidak terbentuk di tempat akhirnya. Sebaliknya, planet-planet itu terbentuk di tempat lain dan bermigrasi ke posisi akhir mereka. Gerakan-gerakan ini akan menyebabkan gangguan tambahan yang dapat mengakibatkan tabrakan.

Oleh karena itu, tabrakan semacam ini dianggap sebagai kejadian yang cukup umum selama pembentukan sistem planet. Bahkan, proses tabrakan ini tampaknya memainkan peran penting dalam cara planet tumbuh dan terbentuknya arsitektur utama sistem tata surya tersebut.

HD 172555 telah lama dianggap agak aneh. Debu yang berputar-putar di sekitarnya memiliki komposisi dan ukuran butiran yang tidak biasa. Debu tersebut mengandung jumlah silika dan silikon monoksida padat yang tidak biasa, dan butiran debu yang jauh lebih kecil daripada rata-rata.

Baca Juga: Kejadian Kosmik Baru, Lubang Hitam yang Menelan Bintang Neutron

Debu ini sebelumnya telah ditafsirkan sebagai hasil dari dampak kecepatan tinggi (hypervelocity), sehingga Schneiderman dan rekan-rekannya memutuskan untuk melihat lebih dekat pada karbon monoksida di sekitar bintang tersebut.

"Ketika orang-orang ingin mempelajari gas dalam piringan debu, karbon monoksida biasanya paling terang, dan dengan demikian paling mudah ditemukan," kata Schneiderman. "Jadi, kami melihat data karbon monoksida untuk HD 172555 lagi karena ini adalah sistem yang menarik."

Mereka menemukan bahwa ada cukup banyak karbon monoksida yang mengorbit bintang tersebut pada jarak yang sangat dekat yang tidak biasa, yakni sedekat 10 satuan astronomi. Pada jarak ini, gas seharusnya terpecah oleh radiasi bintang, yang berarti diperlukan penjelasan atas hal yang tidak biasa ini.

Baca Juga: Empat Teori Aneh Stephen Hawking, Tetapi Hari Ini Terbukti Benar

Menurut pemodelan tim peneliti, itu adalah akibat tumbukan atau tabrakan raksasa. Mereka bahkan dapat mempersempit kapan dan bagaimana hal itu terjadi.

Setidaknya 200.000 tahun yang lalu sebuah planet berbatu seukuran Bumi ditabrak oleh benda yang lebih kecil dengan kecepatan 10 kilometer per detik. Ini adalah waktu yang cukup baru dalam astronomi sehingga karbon monoksida belum punya waktu untuk terurai.

Tabrakan ini akan sangat dahsyat sehingga meledakkan setidaknya sebagian dari atmosfer planet berbatu itu. Hal ini akan menjelaskan penyebab keberadaan debu yang kaya silika dan karbon monoksida itu.

"Dari semua skenario, itu satu-satunya yang bisa menjelaskan semua fitur data," tegas Schneiderman yang telah mempublikasikan laporan studi atas tabrakan raksasa ini di jurnal Nature pada 20 Oktober 2021.