Menghidupkan Kembali Kain Muslin Dhaka yang Hilang Selama 200 Tahun

By Sysilia Tanhati, Minggu, 24 Oktober 2021 | 11:00 WIB
Peneliti mencoba meniru metode menenun berusia ribuan tahun yang digunakan untuk membuat kain muslin Dhaka. ()

Nationalgeographic.co.id - Pada akhir abad ke-18 di Eropa, mode baru menimbulkan sebuah skandal internasional. Bahkan, seluruh kelas sosial dituduh tampil telanjang di tempat umum.

Penyebabnya adalah kain muslin Dhaka, kain berharga yang diimpor dari tempat yang sekarang disebut Banglades.

Kain muslin Dhaka sangat ringan sehingga dikenal sebagai tenunan yang ringan bagai udara. Selain itu juga sangat tipis, membuat pemakainya dianggap vulgar karena menunjukkan siluet tubuh.

Hampir 200 tahun yang lalu, kain muslin Dhaka dianggap sebagai kain paling berharga di planet ini. Namun karena cara pembuatannya yang begitu rumit, pengetahuan tentang cara menenunnya pun perlahan terlupakan dan hilang. Tidak hanya itu, bahan pembuatnya, tanaman phuti karpas, juga ikut punah.

Dibuat melalui proses 16 langkah yang rumit menggunakan kapas langka yang hanya tumbuh di sepanjang tepi sungai Meghna yang suci. Maka tidak heran jika kain muslin Dhaka dianggap sebagai salah satu harta terbesar pada zamannya.

Kain muslin Dhaka menjadi hit bagi mereka yang mampu membelinya. Sebut saja ratu Prancis Marie Antoinette, permaisuri Prancis Joséphine Bonaparte dan Jane Austen, merupakan segelintir penggemar kain berharga ini.

Baca Juga: Pendingin Ruangan Tanpa Listrik Ala Warga Kurang Mampu Banglades

Tidak membutuhkan waktu lama untuk merambah Eropa, tetapi dengan sekejap mata, kain ini menghilang di awal abad ke-20. Yang tersisa hanyalah satu-satunya contoh yang tersimpan dengan aman sebagai koleksi pribadi dan museum.

Di tahun 2014, sebuah proyek yang diluncurkan oleh agensi fotografi Drik PL berkolaborasi dengan perajin dan ahli tanaman bekerja sama untuk menghidupkan kembali kain berharga ini.

“Saya berdiskusi dengan banyak peneliti dan perajin, dan menyadari bahwa belum banyak penelitian yang dilakukan pada kain terkenal ini,” kata Saiful Islam, kepala Bengal Muslin dan mantan CEO Drik. Baginya, muslin Dhaka bukan hanya sekedar kain, ini adalah budaya, sejarah, dan pengetahuan mereka.

Orang-orang di Asia Selatan memproduksi kain muslin halus selama ribuan tahun. Kain muslin dari India disebutkan dalam teks Mesir berusia sekitar 2.000 tahun. Berabad-abad kemudian, kain sangat populer di Kekaisaran Mughal, menyebar ke Persia, Turki, dan tempat lain pada tahun 1700-an.

Dengan cepat kain muslin merambah ke Eropa. Akan tetapi kekuatan yang membuat kain muslin begitu populer di Eropa juga mempercepat kejatuhannya. “Perdagangan itu dibangun dan dihancurkan oleh British East India Company,” ucap sejarawan desain Sonia Ashmore, penulis buku Muslin. Mereka benar-benar menahan produksinya dan mengendalikan seluruh perdagangan.

Perusahaan mendorong para pengrajin menjual produk dengan harga lebih murah sehingga para penenun terjerat hutang dan berjuang untuk mempertahankan bisnis. Ini diperburuk dengan munculnya kain berkualitas rendah dengan harga murah.

Baca Juga: Kain Ini Terbuat dari Jaring Laba-laba, Produk Tekstil Terlangka Dunia

Dalam beberapa tahun terakhir, orang Banglades bekerja keras untuk menghidupkan kembali kain muslin Dhaka. Saat ini, sebagian besar kain muslin memiliki jumlah benang antara 40 dan 80. Jumlah benang untuk kain muslin Dhaka berkisar antara 800 hingga 1.200. Meski belum sama, ini adalah pencapaian yang sangat mengesankan mengingat desain rumit yang ditenun ke dalam kain. Untuk mencapai kualitas tingkat tinggi ini, perajin di desa-desa sekitar Dhaka mengikuti proses 16 langkah yang melelahkan.

Selain proses rumit, tanaman kapas khusus yang menghasilkan serat phuti karpas menjadi kunci utama kain muslin Dhaka. Tidak ada benih spesies yang diketahui bertahan hingga saat ini. Namun para peneliti berhasil menemukan buklet daun keringnya di Royal Botanic Gardens, Kew. Setelah mengurutkan DNA dari daun, mereka akhirnya menemukan tanaman yang mirip di Banglades. Tim kemudian menanamnya dan bekerja dengan perajin Al Amin untuk menciptakan kembali alat dan proses seperti masa lalu.

Meskipun Bengal Muslin belum mampu menumbuhkan cukup banyak kapas unik untuk membuat pakaian lengkap, mereka menggabungkan serat dengan bahan katun lain untuk membuat benang hibrida. Dari benang hibrida itu, kain sari muslin hibrida pun tercipta dan dapat dijual ke pasaran.

Pemerintah turut memberikan dukungan pada usaha menghidupkan kembali kain muslin Dhaka. Bagi mereka, ini merupakan kebanggaan nasional dan identitas negara. Bukan sebagai negara miskin tetapi sebagai negara yang terkenal akan industri garmen penghasil kain terbaik yang pernah ada.