Nationalgeographic.co.id—“Apa yang kusaksikan di dalamnya sungguh menegakkan bulu roma,” ungkap Roswita Tanis Djajadiningrat dalam buku hariannya. “Sembilan orang terkapar di tanah mati dengan tengkoraknya pecah.”
Roswita, atau yang kerap disapa dengan Zus Wiet atau Sweet, bersandar pada dinding sambil menangis. “Wajahnya rusak tak dapat dikenali lagi,” ungkapnya. “Pada yang seorang biji matanya dicongkel, pada yang lain sisa lidahnya yang dipotong terjulur keluar, yang lain lagi hidungnya dipotong.”
Buku hariannya, yang ditulis dalam bahasa Belanda pada Kamis 4 September 1947, melukiskan salah satu kengerian pada masa Aksi Polisional 1947.
Pada pukul lima pagi, demikian Roswita berkisah, terdengar tembakan sekitar tiga kilometer dari Turen di selatan Malang. Pasukan Koninklijke Landmacht menyergap sembilan orang Mobiele Brigade Kepolisian yang tengah tidur nyenyak dalam sebuah rumah. Para pemuda Indonesia yang malang itu tewas dibantai dengan keji.
Aksi polisional Belanda berkode Operatie Product itu terjadi sepanjang Juli hingga Agustus 1947. Meskipun ada kesepakatan gencatan senjata, pada bulan-bulan berikutnya terjadi lagi serangkaian pertempuran kecil. Bagi Indonesia, aksi ini merupakan pengkhianatan hasil Perundingan Linggajati. Bagi Belanda, aksi ini merupakan usaha penertiban dari hasil perundingan tersebut.