Zus Wiet, Kisah Gadis Perawat dalam Laga Aksi Polisional 1947

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 27 November 2014 | 09:40 WIB
Dua perawat asal Indonesia tengah menghentikan perdarahan seorang korban sipil yang terkena tembakan. (Imperial War Museum)

Dia ingin menempuh jalan hidupnya dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan sosial dan meringankan penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak mengikari bahwa putus cinta menjadi salah satu motivasinya.

Buku harian Roswita pertama kali terbitkan oleh Martinus Nijhoff di Den Haag, Belanda, dengan judul Herinneringen van een Vrijheidsstrijdster (Kenangan Pejuang Kemerdekaan) pada 1974. Beberapa bulan kemudian pada tahun yang sama, Balai Pustaka menerbitkan buku hariannya dalam bahasa Indonesia, Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan. Tebalnya 111 halaman.

Roswita adalah adalah anak dari pasangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dan Raden Ajeng Soewitaningrat. Gadis intelektual itu masih terhitung keponakan dari Hoessein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang bergelar doktor, yang dikenal juga sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”.

 

Aksi Polisional pada pertengahan 1947 bukanlah yang pertama dan terakhir. Tampaknya naluri Roswita telah menduga bahwa dirinya dan rakyat Indonesia masih harus menghadapi satu pertempuran lagi sebelum mereka mencapai kemerdekaan penuh. Sejarah menyuratkan takdirnya, pada Desember 1948, Belanda melakukan Operatie Kraai, sebuah Aksi Polisional Kedua yang bertujuan melemahkan kedudukan Republik di Yogyakarta.

“Gencatan senjata telah diumumkan. Namun, aku tahu dengan pasti bahwa ini tidak akan berarti perdamaian bagi kita,” tulis Roswita pada bulan September 1947—sekitar setahun lebih sebelum Aksi Polisional Kedua. "Dalam waktu dekat kita akan dihadapkan kembali pada aksi polisionil yang lebih ganas.”