Nationalgeographic.co.id—“Apa yang kusaksikan di dalamnya sungguh menegakkan bulu roma,” ungkap Roswita Tanis Djajadiningrat dalam buku hariannya. “Sembilan orang terkapar di tanah mati dengan tengkoraknya pecah.”
Roswita, atau yang kerap disapa dengan Zus Wiet atau Sweet, bersandar pada dinding sambil menangis. “Wajahnya rusak tak dapat dikenali lagi,” ungkapnya. “Pada yang seorang biji matanya dicongkel, pada yang lain sisa lidahnya yang dipotong terjulur keluar, yang lain lagi hidungnya dipotong.”
Buku hariannya, yang ditulis dalam bahasa Belanda pada Kamis 4 September 1947, melukiskan salah satu kengerian pada masa Aksi Polisional 1947.
Dia merawat korban luka-luka karena pertempuran yang diderita warga sipil dan pejuang, hingga lelaki korban pelacuran—yang menderita ulcus penis.
Selama Agustus hingga Desember 1947, dia bertugas di beberapa pos di Malang, Jawa Timur: Turen, Ngerejo, Sumberpucung, Pujon, hingga Tumpang. Dia merawat korban luka-luka karena pertempuran yang diderita warga sipil dan pejuang, hingga lelaki korban pelacuran—yang menderita ulcus penis.
Sebagai perawat yang membantu para dokter, Roswita bertugas mengidentifikasi luka-luka pejuang yang malang itu. Dia ingin menempuh jalan hidupnya dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan sosial dan meringankan penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak mengikari bahwa putus cinta menjadi salah satu motivasinya. “Bekerja, bekerja keras, hingga akhirnya lupa akan penderitaan sendiri.”
“Kini aku memandang semua itu dengan pikiran tenang dan rasionil,” tulisnya. Dia mempertanyakan solidaritas dalam perjuangan, dan mengkritik pemerintah Yogyakarta yang tak memberikan perhatian lebih banyak soal pasokan militer dan logistik mereka.
Dia ingin menempuh jalan hidupnya dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan sosial dan meringankan penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak mengikari bahwa putus cinta menjadi salah satu motivasinya.
Buku harian Roswita pertama kali terbitkan oleh Martinus Nijhoff di Den Haag, Belanda, dengan judul Herinneringen van een Vrijheidsstrijdster (Kenangan Pejuang Kemerdekaan) pada 1974. Beberapa bulan kemudian pada tahun yang sama, Balai Pustaka menerbitkan buku hariannya dalam bahasa Indonesia, Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan. Tebalnya 111 halaman.
Roswita adalah adalah anak dari pasangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dan Raden Ajeng Soewitaningrat. Gadis intelektual itu masih terhitung keponakan dari Hoessein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang bergelar doktor, yang dikenal juga sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”.
Aksi Polisional pada pertengahan 1947 bukanlah yang pertama dan terakhir. Tampaknya naluri Roswita telah menduga bahwa dirinya dan rakyat Indonesia masih harus menghadapi satu pertempuran lagi sebelum mereka mencapai kemerdekaan penuh. Sejarah menyuratkan takdirnya, pada Desember 1948, Belanda melakukan Operatie Kraai, sebuah Aksi Polisional Kedua yang bertujuan melemahkan kedudukan Republik di Yogyakarta.
“Gencatan senjata telah diumumkan. Namun, aku tahu dengan pasti bahwa ini tidak akan berarti perdamaian bagi kita,” tulis Roswita pada bulan September 1947—sekitar setahun lebih sebelum Aksi Polisional Kedua. "Dalam waktu dekat kita akan dihadapkan kembali pada aksi polisionil yang lebih ganas.”