Kisah Cengkeh di Pulau Siumat

By , Kamis, 18 Desember 2014 | 16:20 WIB

Pemilik cengkeh, lanjut Siti, mempunyai langganan buruh panjat, jadi tidak perlu tawar menawar upah. Setiap panen, petani datang ke pelabuhan kecil di sebelah timur pulau untuk menelepon atau berkirim pesan singkat ke langganan buruh panjatnya.

Pelabuhan itu mereka namakan Ulul (tempat sandar kapal) Kaut, satu-satunya tempat yang dapat menangkap sinyal telepon genggam, menghadap langsung ke Simeulue.

Menurut Siti, buruh panjat dibayar dengan cengkeh, jadi pemilik tidak perlu mengeluarkan uang. Biasanya hasil cengkeh yang dipetik dibagi dua antara pemilik dengan buruh panjat. Ada juga yang dibayar dengan uang, tapi kalau cengkehnya sudah kering dan terjual.

"Saya punya sekitar 50 batang. Tapi tetap harus dipanjat uleh buruh panjat. Soalnya suami saya mengajar, selain itu dia juga bekerja di badan amil zakat. Jadi tak punya banyak waktu mengurusi cengkeh. Saya lebih banyak mengurus rumah dan membantu menjemur," katanya.

!break!

Satu pohon cengkeh, biasanya menghasilkan antara 10 hingga 15 bambu, tergantung musim. Ukuran satu bambu setara dengan 4 ons (400 gram) cengkeh basah. Setelah dijemur, biasanya 1 kilogram cengkeh basah menyusut hingga menjadi 6-7 ons saja.

Buruh panjat, kata Siti, mulau bekerja pagi hari. Satu pohon cengkeh bisa menghabiskan waktu seharian. Buruh biasanya berbekal karung dari plastik serta pengait besi sepanjang 1,5 hingga 2 meter. Mereka menginap di pondok-pondok kecil di dalam kebun atau balai-balai rumah warga. Banyak juga diantara buruh yang bermalam di perahu.

Sementara alunan lagu dangdut melayu terdengar dari kejauhan. Itu yang membuat Niko, 19, buruh panjat asal Tapak Tuan bersenandung. Iramanya senada dengan gerakan Niko yang gesit dan terlihat lincah.

Nelayan Pulau Siumat pulang dari memancing. (Syafrizaldi)

Dia sedang asik memetik cengkeh. Dia menggunakan pengait besi untuk bagian-bagian yang tidak bisa dijangkau dengan tangan. Niko berada pada dahan sekitar 10 meter dari tanah. Kakinya menyumbulkan otot, berpijak pada percabangan yang kuat.

Menurut Niko, pekerjaan ini sudah dia lakoni selama hampir dua tahun. Dia datang ke Pulau Siumat saban musim cengkeh.

"Dalam setahun, bisa dua kali. Agustus atau September dan Maret atau April. Tapi tahun lalu panen cengkeh bisa tiga kali. Kami (buruh panjat) biasanya meninggalkan cengkeh yang belum siap dipetik," kata dia.

Niko masih bersenandung saat anak-anak mulai ramai memungut buah cengkeh yang terjatuh. Dia bahkan tidak menggubris. Anak-anak itu baru saja pulang sekolah, mereka tak melihat Rizki lagi di depan sekolahnya.

"Memanjat cengkeh tidak perlu pengaman," katanya tersenyum, sembari berpindah dari satu cabang ke cabang yang lain.