Kisah Cengkeh di Pulau Siumat

By , Kamis, 18 Desember 2014 | 16:20 WIB

Dari pohon-pohon cengkeh yang dipanjat, memang tidak tampak seorang pemanjatpun yang menggunakan pengaman. Padahal mereka berada dalam posisi yang berbahaya. Jatuh adalah risiko terberat yang harus mereka alami jika terpeleset. "Badai di laut lebih bahaya," celetuk Niko.

!break!

Mata hari sudah condong ke barat, tapi masih cukup sinar untuk menjemur cengkeh. Angin laut bertiup segar membawa uap air dari hamparan jemuran cengkeh. Arisman, 15, dan Nora, 9, sibuk membalikkan jemuran milik orang tua mereka.

Keduanya sudah pulang dari sekolah, siswa dari satu-satunya sekolah di Pulau Siumat, SD dan SMP Satu Atap. Mereka tak melewati kebun cengkeh ketika pulang tadi. "Buru-buru mau membalik jemuran," kata Arisman.

Menjemur cengkeh adalah pekerjaan rutin pada masa panen cengkeh. Pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah, Arisman bertugas membersihkan perahu milik kakaknya untuk dipakai pergi memancing. Perahu itu sandar di Ulul Kaut.

Nur Alamsyah (62 tahun) dan istrinya Yusmaidar (59 tahun) tidak banyak paham bila pasar cengkeh Indonesia sesungguhnya dikuasai Badan Penyangga dan Pengelolaan Cengkeh (BPPC) pada kurun antara 1992 hingga 1998.

Sepasang suami istri ini menceritakan bagaimana cengkeh pernah merajai perekonomian mereka pada 1977 hingga 1982. "Masa itu, produksi cengkeh luar biasa tinggi. Kalau uangnya ditabung, bisa naik haji berkali-kali," ucap Nur.

Harga cengkeh, lanjutnya, jatuh tidak karu-karuan. Kami tidak terbiasa menabung. Yang ada hanyalah pohon cengkeh di kebun itu. sebagian ada juga kelapa. Karena itu, kebun tidak lagi diurus dan dibiarkan menyamak. Tanaman cengkeh muda banyak yang tumbuh karena buahnya dibiarkan saja. walau begitu, peremajaan tidak dilakukan.

"Sekarang harga kering sudah 100 ribu (rupiah), kami mau bergiat lagi. Tapi usia sudah senja, tak mungkin lagi menebas di kebun. Sebagaian sudah kami jual, sebagian sisanya masih ada," jelasnya.

Nur dan istrinya mendiami rumah kecil dari kayu. Hanya ada satu kamar, ruang tamu merangkap sebagai gudang dan tempat mereka bekerja, dibelakang ada dapur.

Di ruang tamu itu, mereka berdua membersihkan tangkai buah cengkeh yang sudah kering. Menurut mereka, tangkai buah hanya dihargai paling tinggi 10 ribu rupiah per kilonya. Kehidupan mereka ditopang dengan hasil kebun cengkeh yang dibagi dua dengan buruh panjat. Untuk tambahan, keluarga ini menjual tangkai buah kering.

"Cengkeh itu hidup segan, mati tak mau. Selama ada orang di Siumat, selama itu pula cengkeh akan ada. Walaupun tidak ada penanaman baru. Cengkeh yang ada sekarang hanya bekas penanaman berpuluh tahun lalu. Walau begitu, tiap tahun kami terus memanen," jelas Nur.

Di kebun cengkeh, banyak anakan cengkeh yang tumbuh sendiri. Tumbuh dari sisa-sisa buah yang tak sempat terangkut. Anakan itu tumbuh liar. "Makanya orang Siumat tidak perlu meremajakan. Sebagian besar anakan justru dibawa ke Pulau Nias," katanya.

Kalaupun kebun dibersihkan, itupun hanya bagian pangkal pohon untuk memudahkan pemanjat. Jalan-jalan di dalam kebun tidak beraturan. Tapi di beberapa tempat, jalan setapak sudah ada yang dikeraskan dengan beton.

Seperti candu, lanjut Nur, hidup di Siumat tanpa cengkeh serasa tidak hidup. Walau hasil laut cukup untuk memberi makan, tapi hasil tangkapan tidak cukup buat membeli kebutuhan lain.

Pohon-pohon cengkeh di Siumat rata-rata berumur 30 hingga 50 tahun. Hal ini menadakan cengkeh menjadi komoditi setelah kemerdekaan. Jauh sebelum itu, cengkeh sesungguhnya sudah menjadi primadona masa pemerintahan kolonial Belanda.

Cengkeh asal Indonesia berkembang di Sulawesi, Kepulauan Maluku dan beberapa wilayah di Sumatera. Tiongkok dan Eropa adalah pasar utamanya.

Di pulau utama, Simeulue, tanaman cengkeh yang sama juga bertebaran di kebun-kebun milik petani. Setidaknya 7 kecamatan menanam cengkeh. Nasibnya sama dengan cengkeh yang ada di Pulau Siumat, tidak terawat tapi terus dipetik hasilnya.