Kisah Cengkeh di Pulau Siumat

By , Kamis, 18 Desember 2014 | 16:20 WIB

Rizki duduk jongkok di atas di tumpukan tangkai cengkeh. Mukanya masih belepotan bedak bayi pagi itu. Tangan mungilnya cekatan memetik buah cengkeh yang tersisa pada tangkainya. Sebagian dia pungut dari buah yang tercecer. "Saya mencari yang besar," kata anak berusia empat tahun itu.

Menurutnya, buah yang dia kumpulkan akan diserahkan pada orang tuanya untuk dijual. Orang tua Rizki adalah nelayan tangkap tradisional yang juga ikut berkebun cengkeh di Pulau Siumat, Kabupaten Simeulue, Aceh.

Sementara Rizki terus bekerja, loceng SD dan SMP Satu Atap Pulau Siumat berbunyi. Anak-anak lain yang tadinya ikut mencari buah cengkeh berlarian masuk ke kelas. Rizki meneruskan kegiatannya.

Hampir satu jam dia berada di tumpukan tangkai cengkeh itu. Matahari sudah mulai tinggi, orang tuanya memanggil, tapi Rizki tak hirau. Dia memasukkan buah cengkeh berukuran besar ke dalam botol minuman kemasan. Setiap kali dia mendapatkan buah, setiap kali itu pula botolnya dibuka dan ditutup kembali. "Takut terjatuh," tandasnya.

Tumpukan tangkai itu sengaja di jemur untuk dijual. Tapi karena pemetik cengkeh tidak terlalu hati-hati, masih banyak buah cengkeh yang menempel, bahkan tercecer.

Para petani cengkeh, biasanya tidak mempersoalkan ketika anak-anak mengambil buah yang terjatuh ataupun masih menempel di tangkainya ketika cengkeh akan dijemur. Pemilik cengkeh justru bangga, mereka merasa hal itu akan mendatangkan berkah.

Sejak pertengahan Agustus, banyak orang berdatangan ke pulau kecil itu. Tujuan mereka untuk memetik buah cengkeh. Pulau berpenduduk 393 jiwa dengan 82 kepala keluarga itu memang selalu kedatangan tamu setiap musim memetik cengkeh, mereka adalah buruh panjat.

Rizki ikut menjemur cengkeh di Pulau Siumat, Simeulue, Aceh. (Syafrizaldi)
!break!

Pulau Siumat merupakan salah satu pulau yang didominasi oleh pertanian tanaman tua. Cengkeh dan kelapa adalah hasil bumi yang utama, selain ada juga tanaman buah seperti rambutan dan mangga. Pisang ditanam di sudut-sudut rumah ataupun kebun.

Pulau ini memasok bahan baku cengkeh yang dipasarkan oleh pera pedagang pengumpul di Sinabang, ibu kota Simeulue. Para pedagang selanjutnya membawa cengkeh petani ke Medan di Sumatera Utara. Dari medan, cengkeh baru diekspor melalui pelabuhan Belawan. Selain Siumat, cengkeh juga dipasok dari Pulau Tapah di sebelah selatan Simeulue.

Selain ekspor, cengkeh dari Simeulue juga memasok beberapa perusahaan di pulau Jawa, terutama untuk kebutuhan rokok kretek.

Menjemur cengkeh hasil panen kebun di Pulau Siumat, Simeulue, Aceh. (Syafrizaldi)

Petani cengkeh, Siti Aminah, 27, mengatakan banyak pemuda dari seberang (Pulau Simeulue dan Pulau utama, Sumatra) datang dengan perahu sendiri. Mereka biasanya berada di pulau Siumat antara 1 hingga 2 minggu, bahkan ada juga yang sampai sebulan lebih.

Dari Simeulue, Pulau Siumat dapat ditempuh selama 2 jam menggunakan perahu dengan mesin robin berkekuatan 9 PK. Tidak ada kapal yang dapat merapat ke Siumat karena pelabuhannya kecil, hanya muat untuk perahu.

Pemilik cengkeh, lanjut Siti, mempunyai langganan buruh panjat, jadi tidak perlu tawar menawar upah. Setiap panen, petani datang ke pelabuhan kecil di sebelah timur pulau untuk menelepon atau berkirim pesan singkat ke langganan buruh panjatnya.

Pelabuhan itu mereka namakan Ulul (tempat sandar kapal) Kaut, satu-satunya tempat yang dapat menangkap sinyal telepon genggam, menghadap langsung ke Simeulue.

Menurut Siti, buruh panjat dibayar dengan cengkeh, jadi pemilik tidak perlu mengeluarkan uang. Biasanya hasil cengkeh yang dipetik dibagi dua antara pemilik dengan buruh panjat. Ada juga yang dibayar dengan uang, tapi kalau cengkehnya sudah kering dan terjual.

"Saya punya sekitar 50 batang. Tapi tetap harus dipanjat uleh buruh panjat. Soalnya suami saya mengajar, selain itu dia juga bekerja di badan amil zakat. Jadi tak punya banyak waktu mengurusi cengkeh. Saya lebih banyak mengurus rumah dan membantu menjemur," katanya.

!break!

Satu pohon cengkeh, biasanya menghasilkan antara 10 hingga 15 bambu, tergantung musim. Ukuran satu bambu setara dengan 4 ons (400 gram) cengkeh basah. Setelah dijemur, biasanya 1 kilogram cengkeh basah menyusut hingga menjadi 6-7 ons saja.

Buruh panjat, kata Siti, mulau bekerja pagi hari. Satu pohon cengkeh bisa menghabiskan waktu seharian. Buruh biasanya berbekal karung dari plastik serta pengait besi sepanjang 1,5 hingga 2 meter. Mereka menginap di pondok-pondok kecil di dalam kebun atau balai-balai rumah warga. Banyak juga diantara buruh yang bermalam di perahu.

Sementara alunan lagu dangdut melayu terdengar dari kejauhan. Itu yang membuat Niko, 19, buruh panjat asal Tapak Tuan bersenandung. Iramanya senada dengan gerakan Niko yang gesit dan terlihat lincah.

Nelayan Pulau Siumat pulang dari memancing. (Syafrizaldi)

Dia sedang asik memetik cengkeh. Dia menggunakan pengait besi untuk bagian-bagian yang tidak bisa dijangkau dengan tangan. Niko berada pada dahan sekitar 10 meter dari tanah. Kakinya menyumbulkan otot, berpijak pada percabangan yang kuat.

Menurut Niko, pekerjaan ini sudah dia lakoni selama hampir dua tahun. Dia datang ke Pulau Siumat saban musim cengkeh.

"Dalam setahun, bisa dua kali. Agustus atau September dan Maret atau April. Tapi tahun lalu panen cengkeh bisa tiga kali. Kami (buruh panjat) biasanya meninggalkan cengkeh yang belum siap dipetik," kata dia.

Niko masih bersenandung saat anak-anak mulai ramai memungut buah cengkeh yang terjatuh. Dia bahkan tidak menggubris. Anak-anak itu baru saja pulang sekolah, mereka tak melihat Rizki lagi di depan sekolahnya.

"Memanjat cengkeh tidak perlu pengaman," katanya tersenyum, sembari berpindah dari satu cabang ke cabang yang lain.

Dari pohon-pohon cengkeh yang dipanjat, memang tidak tampak seorang pemanjatpun yang menggunakan pengaman. Padahal mereka berada dalam posisi yang berbahaya. Jatuh adalah risiko terberat yang harus mereka alami jika terpeleset. "Badai di laut lebih bahaya," celetuk Niko.

!break!

Mata hari sudah condong ke barat, tapi masih cukup sinar untuk menjemur cengkeh. Angin laut bertiup segar membawa uap air dari hamparan jemuran cengkeh. Arisman, 15, dan Nora, 9, sibuk membalikkan jemuran milik orang tua mereka.

Keduanya sudah pulang dari sekolah, siswa dari satu-satunya sekolah di Pulau Siumat, SD dan SMP Satu Atap. Mereka tak melewati kebun cengkeh ketika pulang tadi. "Buru-buru mau membalik jemuran," kata Arisman.

Menjemur cengkeh adalah pekerjaan rutin pada masa panen cengkeh. Pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah, Arisman bertugas membersihkan perahu milik kakaknya untuk dipakai pergi memancing. Perahu itu sandar di Ulul Kaut.

Nur Alamsyah (62 tahun) dan istrinya Yusmaidar (59 tahun) tidak banyak paham bila pasar cengkeh Indonesia sesungguhnya dikuasai Badan Penyangga dan Pengelolaan Cengkeh (BPPC) pada kurun antara 1992 hingga 1998.

Sepasang suami istri ini menceritakan bagaimana cengkeh pernah merajai perekonomian mereka pada 1977 hingga 1982. "Masa itu, produksi cengkeh luar biasa tinggi. Kalau uangnya ditabung, bisa naik haji berkali-kali," ucap Nur.

Harga cengkeh, lanjutnya, jatuh tidak karu-karuan. Kami tidak terbiasa menabung. Yang ada hanyalah pohon cengkeh di kebun itu. sebagian ada juga kelapa. Karena itu, kebun tidak lagi diurus dan dibiarkan menyamak. Tanaman cengkeh muda banyak yang tumbuh karena buahnya dibiarkan saja. walau begitu, peremajaan tidak dilakukan.

"Sekarang harga kering sudah 100 ribu (rupiah), kami mau bergiat lagi. Tapi usia sudah senja, tak mungkin lagi menebas di kebun. Sebagaian sudah kami jual, sebagian sisanya masih ada," jelasnya.

Nur dan istrinya mendiami rumah kecil dari kayu. Hanya ada satu kamar, ruang tamu merangkap sebagai gudang dan tempat mereka bekerja, dibelakang ada dapur.

Di ruang tamu itu, mereka berdua membersihkan tangkai buah cengkeh yang sudah kering. Menurut mereka, tangkai buah hanya dihargai paling tinggi 10 ribu rupiah per kilonya. Kehidupan mereka ditopang dengan hasil kebun cengkeh yang dibagi dua dengan buruh panjat. Untuk tambahan, keluarga ini menjual tangkai buah kering.

"Cengkeh itu hidup segan, mati tak mau. Selama ada orang di Siumat, selama itu pula cengkeh akan ada. Walaupun tidak ada penanaman baru. Cengkeh yang ada sekarang hanya bekas penanaman berpuluh tahun lalu. Walau begitu, tiap tahun kami terus memanen," jelas Nur.

Di kebun cengkeh, banyak anakan cengkeh yang tumbuh sendiri. Tumbuh dari sisa-sisa buah yang tak sempat terangkut. Anakan itu tumbuh liar. "Makanya orang Siumat tidak perlu meremajakan. Sebagian besar anakan justru dibawa ke Pulau Nias," katanya.

Kalaupun kebun dibersihkan, itupun hanya bagian pangkal pohon untuk memudahkan pemanjat. Jalan-jalan di dalam kebun tidak beraturan. Tapi di beberapa tempat, jalan setapak sudah ada yang dikeraskan dengan beton.

Seperti candu, lanjut Nur, hidup di Siumat tanpa cengkeh serasa tidak hidup. Walau hasil laut cukup untuk memberi makan, tapi hasil tangkapan tidak cukup buat membeli kebutuhan lain.

Pohon-pohon cengkeh di Siumat rata-rata berumur 30 hingga 50 tahun. Hal ini menadakan cengkeh menjadi komoditi setelah kemerdekaan. Jauh sebelum itu, cengkeh sesungguhnya sudah menjadi primadona masa pemerintahan kolonial Belanda.

Cengkeh asal Indonesia berkembang di Sulawesi, Kepulauan Maluku dan beberapa wilayah di Sumatera. Tiongkok dan Eropa adalah pasar utamanya.

Di pulau utama, Simeulue, tanaman cengkeh yang sama juga bertebaran di kebun-kebun milik petani. Setidaknya 7 kecamatan menanam cengkeh. Nasibnya sama dengan cengkeh yang ada di Pulau Siumat, tidak terawat tapi terus dipetik hasilnya.