Kisah Tsunami Aceh dalam Benak Seorang Jurnalis...

By , Jumat, 26 Desember 2014 | 08:30 WIB

Wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, sepuluh tahun lalu meliput langsung bencana tsunami di Aceh, dan saat ini dia melihat perubahan luar biasa di Aceh ikut mewarnai kehidupannya. 

Kenangan tak terlupa 

Ada rasa sedih yang tersisa setiap teringat bencana tsunami Aceh, tetapi hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu. 

Berjarak ribuan kilometer dari Aceh, kalimat itu saya baca berulang-ulang sebelum kutuliskan dua hari lalu dari mejaku di kantor pusat London, dengan harapan dapat mewakili kenyataan batin sebenarnya. 

Dan saya yakin, itulah kenyataannya. Kuulangi lagi: hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu. Titik. 

Tetapi sepuluh tahun silam, saya tidak akan pernah mampu menuliskannya. 

Tiga hari setelah bencana tsunami, 29 Desember 2004, saya berada di kota Banda Aceh tanpa pernah ada pengalaman langsung meliput bencana sebesar itu, sebelumnya. 

Dituntut tegar dan dingin, dan disibukkan melaporkan kejadian sehari-hari, saya sepertinya berhasil menyisihkan sisi rapuh manusia selama empat pekan di wilayah itu. 

Toh semua itu runtuh, ketika menjelang pulang, saya bersama seorang wartawan kantor berita asing asal Malaysia, menangis sesenggukan di pojokan bandar udara Sultan Iskandar Syah. 

Kawasan pantai di pinggiran Banda Aceh yang rusak parah akibat hantaman tsunami 2004. (Getty Images via BBC Indonesia)

Sampai di Jakarta, bayangan apa yang terjadi di Aceh belum juga hilang, lapor saya kepada atasan beberapa hari setelah tiba di Jakarta, ketika itu. 

Sekian tahun kemudian, kerusakan yang parah berubah jauh lebih baik yang dampaknya sangat terasa bagi orang yang pernah meliput tsunami 2004. (Getty Images via BBC Indonesia)

!break!

Foto-foto korban yang ditempel di tembok