Wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, sepuluh tahun lalu meliput langsung bencana tsunami di Aceh, dan saat ini dia melihat perubahan luar biasa di Aceh ikut mewarnai kehidupannya.
Kenangan tak terlupa
Ada rasa sedih yang tersisa setiap teringat bencana tsunami Aceh, tetapi hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu.
Berjarak ribuan kilometer dari Aceh, kalimat itu saya baca berulang-ulang sebelum kutuliskan dua hari lalu dari mejaku di kantor pusat London, dengan harapan dapat mewakili kenyataan batin sebenarnya.
Dan saya yakin, itulah kenyataannya. Kuulangi lagi: hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu. Titik.
Tetapi sepuluh tahun silam, saya tidak akan pernah mampu menuliskannya.
Tiga hari setelah bencana tsunami, 29 Desember 2004, saya berada di kota Banda Aceh tanpa pernah ada pengalaman langsung meliput bencana sebesar itu, sebelumnya.
Dituntut tegar dan dingin, dan disibukkan melaporkan kejadian sehari-hari, saya sepertinya berhasil menyisihkan sisi rapuh manusia selama empat pekan di wilayah itu.
Toh semua itu runtuh, ketika menjelang pulang, saya bersama seorang wartawan kantor berita asing asal Malaysia, menangis sesenggukan di pojokan bandar udara Sultan Iskandar Syah.
Sampai di Jakarta, bayangan apa yang terjadi di Aceh belum juga hilang, lapor saya kepada atasan beberapa hari setelah tiba di Jakarta, ketika itu.
!break!
Foto-foto korban yang ditempel di tembok
Sepuluh tahun silam, saya masih ingat, saya melaporkan kenyataan pahit di Banda: Puing-puing dan reruntuhan yang dulu menyerupai bukit, kini tidak lagi terlihat, meski bangkai kapal nelayan berukuran raksasa masih teronggok di depan Hotel Medan.
Mayat-mayat yang di awal-awal masih gampang dijumpai di jalanan, saat itu tidak terlihat, kecuali di bawah puing-puing yang belum tersentuh.
Tapi yang tidak berubah adalah foto-foto itu, berikut keterangannya yang dicopydan ditempel dalam lembaran kertas seukuran folio di beberapa sudut kota.
Di lembaran itu, tertulis kalimat yang intinya mencari keluarganya yang hilang. Anak mencari ibu atau ayahnya atau sebaliknya.
Mata saya otomatis akan tertuju pada gambar-gambar itu, karena dipasang di tempat yang begitu mencolok di berbagai sudut Banda.
Di lokasi pengungsian di wilayah Mata'i, di pinggiran kota Banda, suara-suara ini sempat terngiang sekian waktu: "Tolong, carikan anak saya... Jika lihat istri saya, ini fotonya... Anak saya masih hidup, kemarin terlihat di TV... Jika bertemu A tolong hubungi HP saya ini..."
Yang kuingat, kala itu saya tidak bisa bicara apa-apa. Sebisa mungkin menahan hasrat untuk menangis, tidak terlihat cengeng di hadapan mereka.
Saya ingat juga, dari lokasi pengungsian Mata'i, suara-suara dari corong pengumuman terus bergema: menyebut nama-nama, menyebut jati diri orang-orang yang hilang...
!break!Rumput menghijau di masjid Baiturrahman
Setahun setelah bencana itu, saya diberi kepercayaan untuk meliput perubahan seperti apa yang terjadi di Banda Aceh. Saya sangat antusias berangkat ke sana.
"Perjalanan ke Aceh kemarin seperti proses healing buat saya," tulis saya kepada atasan di kantor, sepulang dari liputan selama dua pekan itu.
"Walau tak begitu seperti dibayangkan, tapi setahun setelah tsunami, warga kota Banda Aceh mulai percaya akan adanya sebuah harapan," tulisku lagi.
Rumput di halaman Mesjid Baiturrahman, tumbuh menjadi hijau yang indah; bau amis yang dulu terasa di Mesjid baiturrahman, juga tak lagi ada; sungai Aceh yang dulu dipenuhi mayat sekarang kembali mengalir tenang.
Dan, tawa anak-anak sekolah yang bisa tertawa lepas, adalah ukuran lain betapa warga kota ini tidak lagi disibukkan untuk melihat ke belakang...
"Warung kopi yang bisa buka sampai malam, dan orang-orang tak takut lagi akan perang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan tentara Indonesia, adalah kenyataan yang terlihat di kota ini," laporku saat itu.
Ketika itu secercah harapan memang mewarnai Aceh setelah Pemerintah Indonesia dan GAM memilih untuk berdamai.
!break!Melihat ke depan
Setelah liputan itu, saya setidaknya telah tiga kali kembali ke Banda Aceh, dan terakhir adalah saat saya meliput pemilu presiden 2014 lalu dan bertemu langsung bekas pemberontak dan kini menjadi orang nomor satu di wilayah itu.
Walaupun perasaan melankoli sesekali menyelinap muncul, tetapi secara keseluruhan perubahan politik dan perasaan kolektif warga Aceh yang lebih disibukkan melihat masa depannya, ketimbang masa lalunya, membuat suasana muram sepuluh tahun itu pelan-pelan tersapu.
Percakapan di warung kopi, misalnya, saya nyaris tidak pernah lagi mendengar tentang masalah tsunami dan dampaknya. Seorang sahabat dekat di Banda mengatakan, persoalan tsunami dan GAM tidak lagi menarik dibicarakan dan digantikan perkembangan wisata kuliner kopi Gayo.
Saya menyaksikan, para pemimpin, pengusaha, kaum muda dan rakyat biasa di wilayah itu terus berharap untuk kebaikan Aceh di masa depan.
Akhirnya saya berani mengatakan: ada rasa sedih yang tersisa setiap teringat bencana tsunami Aceh, tetapi hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu.
Saya yakin sepenuhnya warga Aceh pun telah jauh melangkah ke depan, dan tidak melulu menangisi masa lalunya. Saya pun demikian.