Sepuluh tahun silam, saya masih ingat, saya melaporkan kenyataan pahit di Banda: Puing-puing dan reruntuhan yang dulu menyerupai bukit, kini tidak lagi terlihat, meski bangkai kapal nelayan berukuran raksasa masih teronggok di depan Hotel Medan.
Mayat-mayat yang di awal-awal masih gampang dijumpai di jalanan, saat itu tidak terlihat, kecuali di bawah puing-puing yang belum tersentuh.
Tapi yang tidak berubah adalah foto-foto itu, berikut keterangannya yang dicopydan ditempel dalam lembaran kertas seukuran folio di beberapa sudut kota.
Di lembaran itu, tertulis kalimat yang intinya mencari keluarganya yang hilang. Anak mencari ibu atau ayahnya atau sebaliknya.
Mata saya otomatis akan tertuju pada gambar-gambar itu, karena dipasang di tempat yang begitu mencolok di berbagai sudut Banda.
Di lokasi pengungsian di wilayah Mata'i, di pinggiran kota Banda, suara-suara ini sempat terngiang sekian waktu: "Tolong, carikan anak saya... Jika lihat istri saya, ini fotonya... Anak saya masih hidup, kemarin terlihat di TV... Jika bertemu A tolong hubungi HP saya ini..."
Yang kuingat, kala itu saya tidak bisa bicara apa-apa. Sebisa mungkin menahan hasrat untuk menangis, tidak terlihat cengeng di hadapan mereka.
Saya ingat juga, dari lokasi pengungsian Mata'i, suara-suara dari corong pengumuman terus bergema: menyebut nama-nama, menyebut jati diri orang-orang yang hilang...
!break!Rumput menghijau di masjid Baiturrahman
Setahun setelah bencana itu, saya diberi kepercayaan untuk meliput perubahan seperti apa yang terjadi di Banda Aceh. Saya sangat antusias berangkat ke sana.
"Perjalanan ke Aceh kemarin seperti proses healing buat saya," tulis saya kepada atasan di kantor, sepulang dari liputan selama dua pekan itu.