Jejak Budaya Panji dalam Topeng dan Cerita Lisan Kalimantan Selatan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 30 Oktober 2021 | 09:00 WIB
Sajian empat puluh satu macam yang disediakan dalam mementaskan tari manopeng Banjarmasin. Tari topeng hadir sebagai jejak keberadaan budaya panji di Kalimantan Selatan. (Putri Yunita Permata Kumala Sari)

Nationalgeographic.co.id - Budaya Panji turut hadir tradisi masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya di Banjarmasin. Keberadaannya hadir dalam dua bentuk, tari topeng dan lisan.

Putri Yunita Permata Kumala Sari mengatakan, budaya Panji masuk Banjarmasin sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha semasa Kerajaan Majapahit. Kebudayaan tersebut dibawa dan bercampur dengan masyarakat Banjar yang kompleks dari berbagai suku, seperti Dayak, Melayu, dan Jawa.

Setelah Majapahit kehilangan pengaruhnya, Kesultanan Banjar berdiri dengan bantuan Kesultanan Demak. Perkembangan budaya Panji pun sudah bercampur dengan pengaruh lainnya.

Baca Juga: Bagaimana Panji Angreni Menggambarkan Watak Orang Jawa Semestinya?

Putri sendiri adalah seorang pengamat budaya dari Komite Tari Dewan Kesenian Banjarmasin, yang menjelaskan kehadiran budaya Panji di Banjarmasin lewat Webinar Relevansi dan Aktualisasi Budaya Panji ke-16, Kamis (21/10/2021).

"Di sini ada Manopeng. Budaya inilah yang merupakan salah satu jejak Panji di Kalimantan Selatan," terang Putri. "Istilah 'Manopeng' adalah kegiatan ritual dari di mana keturunan atau juriyat itu memiliki topeng yang diturunkan di Banjarmasin.

Tradisi Manopeng biasanya dilakukan secara tahunan dalam rangkaian membersihkan topeng, menapungtawarimemperapeni (mengasapi), dan kemudian menarikan oleh keluarga yang menggelutinya.

Baca Juga: Kehadiran Budaya Panji di Atas Puncak Watak Kesenian Tari Topeng

Selain di Banjarmasin, tradisi Manopeng masih diselenggarakan di Marabahan, Kabupaten Batola.

"Itu Bandar pertama sebelum ibu kota kesultanan pindah ke Bandarmasih (nama terdahulu Banjarmasin)," terang Putri.

Ada pula diselenggarakan di Rantau di Kabupaten Tapin, Barikin di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Pantai Hembawang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Juai di Kabupaten Balangan. Sementara di Banjarmasin diadakan secara tahunan di Banyu Ruwat.

Tradisi Manopengan menjadi ajang silahturahmi bagi keluarga penerusnya. Putri menerangkan, mereka percaya bila tidak diadakan dalam suatu tahun akan ada bala yang mengintai keluarga.

Penari topeng Sangkala sedang melakukan manapungtawari. (BPNB KalBar &Juriyat Panopengan Banyiur)

Ada banyak topeng dalam tradisi ini yang menggunakan tokoh cerita Panji, seperti Panji, Gunung Sari, Kelana, Patih, Tumenggung, Lambang Sari atau Sekartaji, Pantul dan Tambang, Sangkala atau Batara Kala, serta topeng tujuh bidadari.

Baca Juga: Cinta Sejati dan Berharga Panji Kudawaningpati Bersama Dewi Angreni

Dalam jalannya acara, tradisi yang menjadi ritual kepada Tuhan itu diselenggarakan setiap Jumat hingga Minggu di bulan Muharam. Sebagai rasa syukur, sajian wajik adalah hal yang wajib dihidangkan untuk nanti disantap oleh yang menggunakan topeng.

Tari topeng diawali dari kehadiran pengguna topeng tujuh bidadari, dan kemudian menggunakan topeng lainnya secara suka rela. Awalnya ditarikan oleh juriyat panopengan terlebih dahulu, setelah itu penonton yang ingin berpartisipasi diperbolehkan menarikannya juga.

"Tapi intinya, ketika sudah di puncak ritual itu sampai dua tokoh ini, ada Topeng Tambang dan Pantul sebagai mediasi untuk melihat sesajian yang disajikan," ungkap Putri. "Kemudian salah satu penari topeng ini akan dirasuki oleh Sangkala dan mengganti dengan topeng Sangkala ini."

Seringnya, kerasukan ini dialami oleh para juriyat ketika menari, tapi terkadang penonton juga bisa mengalaminya ketika menyaksikan tarian mereka. Bila penonton yang mengalaminya, dia akan dinaikan ke panggung juga dan dipasangkan topeng agar selanjutnya menari di bawah alam sadarnya.

Cerita lisan

Gusti Jamhar Akbar sedang menuturkan cerita Lamut, yang diduga memiliki unsur budaya Panji di dalamnya. Penuturan cerita Lamut memiliki dua fungsi, yaitu senagai sarana tradisi dan pertunjukan. (Sainul Hermawan)

Sementara itu, budaya Panji samar-samar terekam dalam cerita lisan Lamut. Cerita lisan itu dituturkan dengan syair dengan alat musik.

"Apakah Lamut dan Panji sama? Bisa iya bisa tidak, sebab cerita Lamut ini beragam," ujar Sainul Hermawan, budayawan FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Dia menyebut dalam disertasinya pada 2017 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Lamut dan Panji tidak terhubung secara khusus.

Sebab Lamut berkembang lewat syair yang dipengaruhi berbagai budaya, dan juga tokoh penuturnya. Setidaknya ada empat maestro Lamut yang diamatinya, dan hanya tiga yang masih hidup hingga sekarang.

Baca Juga: Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis

"Perbedaannya sangat kentara karena tradisi lisan sangat unik karena personilized," terang Sainul. Cerita Panji itu ada pada tutur Lamut dari Gusti Jamhar Akbar.

Kemiripan Cerita Panji dalam Lamut tertera dalam polanya, yang diyakini masuk akibat tradisi sastra dari Jawa dan Melayu. Ciri-ciri cerita Panji di dalamnya seperti seorang tokoh protagonis yang mencari kekasih, hadirnya dewa dalam pengembaraan dan menjadi tempat tokoh protagonis bergantung, penjelmaan dan inkarnasi, pertukaran nama tokoh utama, dan nama dan tempat yang secara jelas menggambarkan cerita Panji.

"Kalau diurutkan [cerita Lamut tuturan Gusti Jamhar] ada dalam Petualangan Pertama tentang Raden Kasan Mandi berpetualang ke Mesir mencari kekasihnya yang selalu datang dalam mimpi, Junjung Masari," dia menerangkan. "Tapi Kasan mandi membawa pulang tiga istri. Junjung Masari juga datang ke mimpi Sultan Aliyudin, sang antagonis siklus cerita."

Cerita Lamut biasanya dibawakan berisi syair-syair yang diiringi alat musik. (Sainul Hermawan)

Baca Juga: Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia

Siklus berikutnya pada Petualangan Kedua ketika Bujang Maluala anak dari Raden Kasan Mandi berkelana mencari kekasih ke Cina, dan pulang membawa tiga istri.

Pada kedua pola, tokoh protagonis bertarung dengan antagonis. Peran para dewa juga hadir sebagai teman-teman tokoh protagonis, bahkan Lamut dalam cerita ini adalah dewa yang menjelma sebagai manusia yang berikutnya melahirkan raja-raja Banjar.

"Ada banyak penjelmaan dalam pertarungan. Protagonis berbeda-berbeda tapi antagonisnya sama tetapi hanya nama yang berbeda," ungkap Sainul.