Mereka memandang Islam sebagai sebuah perjanjian primordial yang sudah diterima sejak lahir. Hal ini tentu sesuai dengan pandangan Islam bahwa sebelum kelahiran, roh manusia memiliki perjanjian dengan Tuhan.
Baca Juga: AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
"Tapi yang dipakai perjanjian primordial itu ditekankan bahwa manusia punya kontrak untuk hidup bersama dengan yang lainnya, dan consent bagaimana menjaga hidup kita sebagai manusia dengan wujud-wujud lain," terang Samsul.
Pandangan itu membuat masyarakat adat memegang teguh empat prinsip yang menjaga tatanan sosialnya yang termaktub dalam Pasang Ri Kajang. Empat prinsip itu adalah Gattangnu ji nu ada' (Karena ketegasanmu, engkau menjadi pemangku adat), Lambusu'nu ji nu karaeng (Karena kejujuranmu, engkau menjadi tua/raja), Sabbara'nu ji guru (Karena kesabaranmu, menjadi guru agama), dan Appisana'nu ji sanro (Karena ketawakalanmu, engkau menjadi ritualis).
Baca Juga: Fungsi Konservasi Lindungi Hutan Adat Masyarakat Ammatoa Kajang
"Keempat prinsip ini, itu yang ditanamkan yang ditunjukkan dalam bentuk praktik memaknai wudu yang tak pernah batal itu," lanjutnya. "
Seperti yang diterangkan sebelumnya, masyarakat adat Ammatoa selain menjalankan ritual Islam seperti salat lima waktu, juga menjalankan ritual lainnya. Ritual itu mulai dari individu, hingga perayaan keluarga berdasarkan kalender, seperti ritual daur hidup.
Semua ritual itu adalah manifestasi nilai-nilai yang tercermin dari prinsip mereka, dan pemahaman atas Islam. Mereka menganggap semua ritual pada dasarnya sebagai upaya untuk Islamisasi (Passalang) diri dan komunitas.
Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan
"Tentu saja tidak bisa dipahami bahwa mereka baru masuk Islam, tapi menegaskan Islam dalam diri mereka," ia menambahkan. Penegasan nilai-nilai Islam juga tertuang dalam pakaian warna hitam yang dikenakan, sebagai simbol kebersahajaan, dan passapo sebagai penutup kepala sebagai simbol maqam tertinggi orang Ammatoa.
Nilai-nilai adat orang Ammatoa dan keislaman tertuai dengan bagaimana mereka melestarikan lingkungan. Hutan, sebagai contoh, dianggap sebagai wujud makhluk non-manusia yang memiliki fungsi peran timbal balik dengan manusia. Hutan dianggap makhluk hidup karena memiliki respon kepada manusia, sehingga dipahami memiliki hak dan aspirasi yang harus dipenuhi.
"Di Ammatoa, kategori hirarkis supranatural, culture, dan nature itu tidak ada, melebur. Kalau enggak ada nature, berarti enggak ada culture. Kalaupun ada culture, maka yang sering dikategorikan nature juga bagian dari culture," jelasnya.
Baca Juga: Selidik Perayaan Menuju Keabadiaan di Mamasa, Sulawesi Barat
Pengenalan terhadap tumbuh-tumbuhan dapat menghasilkan respon manfaat seperti buah, obat, dan pengelolaannya. Sedangkan pada timbal baliknya, manusia harus bertanggung jawab melindungi dan melestarikannya. Pandangan seperti ini juga berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, untuk membangun relasi tanggung jawab secara etis dan berbagi dengan alam.
Pandangan dan usaha pengelolaan seperti inilah yang membuat masyarakat adat Ammatoa sangat gigih melindungi hutannya, hingga mendapatkan sertifikat hutan adat. Hutan adat Ammatoa tercatat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dalam SK.6746 tahun 2016, yang menyatakan kepemilikian hutan adat seluas 314 hektar untuk dikelola secara independen.