Nationalgeographic.co.id - Secara politik, Islam menjadi agama resmi di beberapa kerajaan Sulawesi Selatan sejak abad ke-17. Kerajaan Gowa adalah yang paling berpengaruh dalam penyebarannya, setelah sang raja memeluk agama Islam.
Jauh sebelum itu, ada tiga tokoh penyebar utama agama Islam yang berpengaruh, salah satunya adalah Datuk Ri Tiro yang memiliki pemahaman dakwah secara sufi. Dakwahnya bahkan membuat agama Islam diterima oleh masyarakat adat Ammatoa di Bulukumba, Sulawesi Selatan, hingga kini.
Secara sosial, masyarakat adat Ammatoa dibagi menjadi dua bagian, yaitu kawasan Elalang Embaya dan Impantara Embaya. Secara makna, Elalang Embaya adalah 'di dalam pagar', yang membuat mereka menjadi bagian inti dalam tatanan sosial tanpa diperbolehkan modernitas masuk, termasuk penggunaan sendal dan kamera.
Baca Juga: Masyarakat Adat, Upaya Melindungi Lingkungan Sebagai Warisan Leluhur
Sedangkan Impantara Embayya merupakan bagian luar yang bisa dijumpai menerima modernitas dan terdiri dari lima desa di sekitar Kajang. Meski demikian, perbedaan permukiman luar dan dalam masyarakat adat Ammatoa tetap bersama-sama, terutama dalam hal ritual.
"Jadi ada banyak ritual [yang dilakukan orang Ammatoa]," terang Samsul Ma'arif, Kepala Studi Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui webinar Antropologi dan Islam [di] Nusantara: Islam Ammatoa di Bulukumba Sulawesi Selatan yang diadakan Departemen Antropologi UGM, Jumat (15/10/2021).
Samsul, sendiri adalah antropolog yang sering meneliti kehidupan masyarakat adat Ammatoa, dan kepercayaan lokal.
"Ini di antara ritual mereka yang penting ada hubungannya dengan alam, daur hidup, tetapi juga ada ritual lain termasuk [yang sesuai syariat Islam] salat lima waktu, [salat] Jumat, dan hari raya. Semua masuk bersama-sama. [Seperti] Orkestra," tambahnya.
Baca Juga: Selidik Fosil Rahang Manusia Modern Tertua di Sulawesi Selatan
Ia sempat mengamati, berdiskusi bersama masyarakat adat, dan berdialog tentang bagaimana Islam berkembang di sana selama setahun. Hasilnya, dia mendapati filosofi umum Islam di Sulawesi Selatan yang sangat kental digunakan: Jenne' telluka, sambajang tammattapu (wudu yang tak pernah batal, sembayang yang tak pernah putus).
Sehingga, Samsul menerangkan, Islam di Ammatoa muncul dalam seluruh gagasan dan praktik kesehariannya. Masyarakat Ammatoa juga memandang Islam bukanlah hal yang harus dipertanyakan, karena telah dipahami menjadi bagian diri mereka.
"Jadi semua perbuatan dan pikiran adalah Islam. Itulah yang ditekankan dan saya tangkap pada waktu itu," kenangnya pada pengalaman diskusi penelitian.
Mereka memandang Islam sebagai sebuah perjanjian primordial yang sudah diterima sejak lahir. Hal ini tentu sesuai dengan pandangan Islam bahwa sebelum kelahiran, roh manusia memiliki perjanjian dengan Tuhan.
Baca Juga: AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
"Tapi yang dipakai perjanjian primordial itu ditekankan bahwa manusia punya kontrak untuk hidup bersama dengan yang lainnya, dan consent bagaimana menjaga hidup kita sebagai manusia dengan wujud-wujud lain," terang Samsul.
Pandangan itu membuat masyarakat adat memegang teguh empat prinsip yang menjaga tatanan sosialnya yang termaktub dalam Pasang Ri Kajang. Empat prinsip itu adalah Gattangnu ji nu ada' (Karena ketegasanmu, engkau menjadi pemangku adat), Lambusu'nu ji nu karaeng (Karena kejujuranmu, engkau menjadi tua/raja), Sabbara'nu ji guru (Karena kesabaranmu, menjadi guru agama), dan Appisana'nu ji sanro (Karena ketawakalanmu, engkau menjadi ritualis).
Baca Juga: Fungsi Konservasi Lindungi Hutan Adat Masyarakat Ammatoa Kajang
"Keempat prinsip ini, itu yang ditanamkan yang ditunjukkan dalam bentuk praktik memaknai wudu yang tak pernah batal itu," lanjutnya. "
Seperti yang diterangkan sebelumnya, masyarakat adat Ammatoa selain menjalankan ritual Islam seperti salat lima waktu, juga menjalankan ritual lainnya. Ritual itu mulai dari individu, hingga perayaan keluarga berdasarkan kalender, seperti ritual daur hidup.
Semua ritual itu adalah manifestasi nilai-nilai yang tercermin dari prinsip mereka, dan pemahaman atas Islam. Mereka menganggap semua ritual pada dasarnya sebagai upaya untuk Islamisasi (Passalang) diri dan komunitas.
Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan
"Tentu saja tidak bisa dipahami bahwa mereka baru masuk Islam, tapi menegaskan Islam dalam diri mereka," ia menambahkan. Penegasan nilai-nilai Islam juga tertuang dalam pakaian warna hitam yang dikenakan, sebagai simbol kebersahajaan, dan passapo sebagai penutup kepala sebagai simbol maqam tertinggi orang Ammatoa.
Nilai-nilai adat orang Ammatoa dan keislaman tertuai dengan bagaimana mereka melestarikan lingkungan. Hutan, sebagai contoh, dianggap sebagai wujud makhluk non-manusia yang memiliki fungsi peran timbal balik dengan manusia. Hutan dianggap makhluk hidup karena memiliki respon kepada manusia, sehingga dipahami memiliki hak dan aspirasi yang harus dipenuhi.
"Di Ammatoa, kategori hirarkis supranatural, culture, dan nature itu tidak ada, melebur. Kalau enggak ada nature, berarti enggak ada culture. Kalaupun ada culture, maka yang sering dikategorikan nature juga bagian dari culture," jelasnya.
Baca Juga: Selidik Perayaan Menuju Keabadiaan di Mamasa, Sulawesi Barat
Pengenalan terhadap tumbuh-tumbuhan dapat menghasilkan respon manfaat seperti buah, obat, dan pengelolaannya. Sedangkan pada timbal baliknya, manusia harus bertanggung jawab melindungi dan melestarikannya. Pandangan seperti ini juga berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, untuk membangun relasi tanggung jawab secara etis dan berbagi dengan alam.
Pandangan dan usaha pengelolaan seperti inilah yang membuat masyarakat adat Ammatoa sangat gigih melindungi hutannya, hingga mendapatkan sertifikat hutan adat. Hutan adat Ammatoa tercatat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dalam SK.6746 tahun 2016, yang menyatakan kepemilikian hutan adat seluas 314 hektar untuk dikelola secara independen.