Ziarah ke Pulau-Pulau Tenggelam (2)

By , Rabu, 21 Januari 2015 | 20:00 WIB
Burung dara laut jambul berukuran lebih besar (Sterna bergii) dan dara laut biasa berukuran lebih kecil (Sterna hirundo), hidup liar di Pulau Malelo. (Syafrizaldi)

Dia tidak melanjutkan menggali, segerombolan burung camar terusik dan terbang menjauh. Burung-burung itu tak tahu harus ke mana, pulau itu telah menjadi tempat tinggal mereka sejak beberapa tahun belakangan.

“Tak banyak riset tentang perubahan iklim dilakukan di sini. Biaya mahal dan belum terjangkau transportasi rutin, membuat gugusan pulau di Kepulauan Banyak tidak terlalu diminati para peneliti perubahan iklim,” papar Elfa yang juga Dosen pada Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama (UNAYA), Aceh itu.

Dia melanjutkan, kalau tidak ada masalah maka mestinya bulan ini air laut tidak bergelombang besar. Kalaupun terjadi, maka itu lebih banyak dipengaruhi faktor gravitas bulan. Tapi ini awal bulan dan sudah lima hari ini gelombang selalu besar.

Kami tak punya banyak waktu berlama-lama di pulau kecil yang hampir tenggelam itu. Awan hitam pembawa hujan dan badai sudah tampak akan menyergap kami.

Sesungguhnya, awan itu sudah tampak ketika kami meninggalkan Pulau Balai beberapa jam sebelumnya. Kami pikir masih jauh dan punya kesempatan menelisik lebih jauh di Pulau Malelo. Perkiraan itu meleset hingga perjalanan dua jam menyisir laut dari Pulau Balai itu harus berakhir.!break!

Hari berikutnya, kami masih mencoba mendekati Malelo.Tapi badai mengusir kami jauh-jauh.  Untungnya, Rakhmat dan Rijal, dua orang staff FFI IP Aceh masih sempat bertanam kelapa di pulau itu. 

“Mudah-mudahan tumbuh dan bermanfaat,” kata mereka.

Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Singkil, Azwardin membawa saya ke rumahnya.

Sop kepiting (Syafrizaldi)

Dia dan istrinya sudah menyiapkan hidangan malam yang menarik selera.  Ikan sambam (ikan yang dibakar dengan dibungkus daun pisang), sop kepiting serta sambal terasi menunggu untuk disantap.

Perjalanan melelahkan membuat mulut saya tak henti memamah. Itu adalah makanan terlezat yang saya rasakan di perjalanan kali ini.

Menurut istrinya, hasil laut sekarang sudah sulit dinikmati. Banyak nelayan kecil dan nelayan tradisional tidak bisa melaut. “Kalau kapal besar, tentu masih bisa.Tapi tidak adil,” ketusnya.

Dulu, cerita Azwardin, pulau-pulau disini tidak terhitung. Ada yang mengatakan 100, bahkan lebih. Pulau-pulau itu banyak yang tidak berpenghuni. Tsunami Aceh tahun 2004 menguburkan sebagian pulau-pulau itu dan menjadikanya gosong