Ziarah ke Pulau-Pulau Tenggelam (2)

By , Rabu, 21 Januari 2015 | 20:00 WIB

Azwardin membawa saya ke Pulau Rangit Kecil. Pulau ini merupakan salah satu pulau yang nyaris bernasib sama dengan Pulau Malelo. Pasir putih menghampar di tepian pantai. Beberapa pohon tampak meranggas dan hampir mati.

Azwardin menceritakan pulau itu semula cukup luas untuk dijadikan kebun kelapa. Kini, Pulau Rangit Kecil tidak berpenghuni. Pantainya sudah turun hingga beberapa meter ke laut.

Pulau ini, kata Azwardin, dulunya menyatu dengan Pulau Rangit Besar yang ada di sebelahnya. Kenaikan air laut membuat kedua pulau ini terpisah. Lagi-lagi dia tidak tahu, apakah ini pengaruh anomali cuaca atau perubahan iklim.

“Data kami di DKP Singkil tahun 2011 mencatat keberadaan 69 pulau di Kabupaten Aceh Singkil ini, tapi di hanya 64 pulau di Kecamatan Pulau Banyak,” jelasnya.!break!

Azwardin mengingatkan agar tidak berlama-lama. Saya harus buru-buru kembali, kalau tidak mau dihantam badai di jalan.  Dua jam perjalan laut akhirnya kami tempuh untuk sampai kembali ke Pulau Balai.

Cuaca yang tidak bersahabat membuat perjalanan saya terasa singkat.Sudah delapan hari saya mengitari pulau-pulau di Pulau Banyak Timur. Beberapa kali kami mencoba mengarahkan perahu mesin kearah barat, mencoba mendekati Pulau Tuanku dan Pulau Bangkaru.

Kedua pulau itu merupakan yang terbesar di Kecamatan kepulauan Banyak.Tapi upaya yang kami lakukan kandas ditengah jalan. Perahu mesin akhirnya harus kembali ke pangkalan awal di Pulau Balai.

Azwardin tampak agak kecewa. “Mestinya memang tidak ada badai. Biasanya badai baru datang diakhir-akhir tahun hingga Februari. Kalau memungkinkan ke Pulau Tuanku dan Bangkaru, kita akan melalui gosong-gosong dangkal. Gosong-gosong itu dulunya pulau.Kini tenggelam dan menjadi tempat tinggal ikan,” katanya.

Elang perut putih (Haliaeetus leucogaster) (Syafrizaldi)

Dua ekor elang perut putih (Haliaeetus leucogaster) tertangkap kamera saya ketika sedang bercengkerama di sebuah menara base transceiver station (BTS) di Pulau Balai.

“Barangkali mereka sudah pindah karena pulau-pulau ini tidak menyediakan pohon besar dan tinggi lagi. Pulaunya saja tenggelam, membunuh pohon yang tumbuh di atasnya,” kata Azwardin.

Saya tercenung di ujung dermaga penyeberangan Pulau Balai. Senja berkabut tanpa matahari telah mulai menurunkan titik air hujan. Pikiran saya mengembara pada sebuah bayangan bola raksasa bumi yang bulat, melayang di antara gugusan bintang dalam tata surya.

Bola bulat itu bersungkup membran transparan yang mampu menahan pelepasan panas ke angkasa.Sebagian panas itu menghangatkan permukaannya.Karena itulah saya masih bisa menikmati pulau-pulau di seberang pelabuhan itu.

Tapi bila sungkup transparan itu telah kedap, maka sinar matahari pembawa hangat akan terbendung olehnya, melelehkan bongkahan es yang selama ini membatu di ujung utara dan selatan Bumi.

Air lelehannya, sampai ke Pulau Banyak, menenggelamkan pulau-pulau kecil yang dalam beberapa hari ini saya kunjungi.