Ketika Kita Mengenang Sang Pangeran

By , Rabu, 4 Februari 2015 | 11:30 WIB

Bagaimana kondisi penyimpanan jubah pusaka sang pangeran itu? “Menurut saya itu tidak layak sebab [jubah berada] di dalam lemari dan sebagian sudah dimakan serangga, banyak bolong,” ungkap Carey prihatin. Jubah itu “berada di hanger yang sesungguhnya tidak sesuai untuk penyimpanan kain yang sudah berumur lebih dari seratus tahun.”

Pelana kuda, tinggalan Dipanagara yang kini menjadi koleksi Museum Nasional. Dipanagara meninggalkan beberapa kuda, senjata, dan busana perang sabilnya ketika serdadu sekutu Belanda di bawah komando Mayor Andreas Victor Michiels nyaris menyergapnya, kebetulan tepat di hari ulang tahun sang pangeran itu. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)
!break!
Uang Kertas Diponegoro 1952, koleksi Museum Bank Indonesia. (Museum Bank Indonesia/Goethe Institut)

Tubagus Andre Sukmana, direktur Galeri Nasional, menanggapi usulan pemikiran untuk membawa pameran serupa ke daerah. Dia mengatakan bahwa pameran semacam ini belum diprogramkan untuk keliling Indonesia karena galeri seni di daerah-daerah belum memiliki perihal standar keamanan dan pemeliharaan. “Kesempatan ke depan mungkin kita bisa memamerkan karya lukis Raden Saleh yang dimiliki negara dalam satu ruangan khusus supaya bisa dinikmati oleh publik.”

“Saya setuju dengan apa yang disampaikan Tubagus,” ujar Werner Kraus usai meninjau persiapan ruangan pameran. Karya-karya lukis Raden Saleh banyak yang dimiliki oleh negara dan kini tersebar di beberapa istana kepresidenan, demikian ungkapnya. “Masyarakat sulit menyaksikan lukisan Raden Saleh yang berada di istana. Alangkah lebih baik apabila lukisan-lukisan itu dijadikan dalam satu tempat [semacam museum atau galeri] sehingga kita bisa lebih mudah menyaksikan dan juga memerhatikan perawatannya.”

Penyelenggaraan “Aku Diponegoro” bertujuan untuk membangun sebuah gambar naratif akan masa lalu dan kemudian mengembangkan citra dan identitasnya sendiri. “Dalam pameran ini”, ungkap Kraus, “Dipanagara telah menjadi bagian dari dunia kita, seolah kita dapat tersenyum atau berbincang kembali dengan dia.”

Dalam gempita pameran bersejarah ini, National Geographic menggelar bincang santai di Galeri Nasional pada 21 Februari 2015. Perbincangan ini menghadirkan penuturan dua jurnalis tentang kisah di balik layar “Sang Pangeran dan Kecamuk Perang Jawa” yang pernah terbit di National Geographic Indonesia.

"Prince Diponego Rock" karya Bron Zelani. (Bron Zelani/Goethe Institut)