Ketika Kita Mengenang Sang Pangeran

By , Rabu, 4 Februari 2015 | 11:30 WIB

Goethe Institut, pusat kebudayaan Jerman, kembali memprakarsai sebuah pameran bersejarah pada tahun ini. Pameran yang bertajuk “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh Hingga Kini” digelar di Galeri nasional pada 6 Februari sampai 8 Maret 2015.

Tiga tahun silam, lembaga itu menggelar pameran bergengsi dan berkelas internasional tentang lukisan-lukisan karya Raden Saleh. Untuk pertama kalinya, lukisan karya ‘Pelukis Sang Raja” itu disatukan dan dipamerkan secara bersama.

Pagelaran pameran “Aku Diponegoro” diramu oleh Goethe Institut bersama Kedutaan Besar Jerman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, dan beberapa patron lainnya. Kurator pameran adalah Werner Kraus, Jim Supangkat, dan Peter Carey.

“Dipanagara terlahir sebagai figur pahlawan di Indonesia,” ungkap Werner Kraus, direktur Centre for Southeast Asian Art. Kraus mengatakan Sang Pangeran itu telah dijadikan sebagai sosok pahlawan pada zaman Soekarno, sebagai pemimpin Islam bagi Muhammadiyah, Syarekat Islam, dan sebagai identitas nasional oleh Partai Komunis Indonesia. “Semangat Dipanagara hidup di dalam masyarakat,” ujarnya.

Persiapan pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasional. Pameran ini menampilkan berbagai lukisan karya seniman kontemporer Indonesia yang mengekspresikan pemikiran mereka tentang sang pangeran itu. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)
!break!
 
Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara di Wisma Residen Kedu di Magelang. Sussane Erhards, ahli restorasi karya seni dari GRUPPE Koln Jerman, bersama timnya telah merampungkan proses restorasi dan preservasi karya ini pada 2013. Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. (Susanne Erdhards/Goethe Institut)

Sementara Jim Supangkat, kritikus seni dan kurator, mengatakan, “Lukisan karya Raden Saleh masih menjadi fokus pameran ini karena baru saja selesai direstorasi oleh Susane Erhards—ahli konservasi seni dari GRUPPE Koln, Jerman.”

“Sama sekali tidak berbelok dari tema.” Kemudian Jim melanjutkan, “Raden Saleh bukan hanya perintis lukisan Indonesia. Ada spirit yang sama antara Dipanagara dan Raden Saleh, spirit abad ke-19.” Pada periode yang sama, di Eropa juga terjadi pergolakan politik, ungkap Jim, dan informasi mengenai pergolakan di Eropa cukup banyak. Sementara, catatan pergolakan pemikiran di daerah jajahan sungguh terbatas.  “Dan, Dipanagara dan Raden Saleh telah mewakili pergolakan dunia [di tanah jajahan].”

Catrini Pratihari Kubontubuh, direktur eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, mengungkapkan bahwa pihaknya turut berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lukisan melalui restorasi tiga lukisan karya Raden Saleh pada 2013. Ketiga karya itu adalah “Penangkapan Pangeran Dipanagara” (1857), “Harimau Minum” (1863) keduanya adalah koleksi Istana Kepresidenan, dan “Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu” (1871).

Lukisan berjudul "Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro" karya Sudjojono yang dipamerkan dalam pameran bertajuk "Aku Diponegoro" (Sotheby/Goethe Institut)
!break!
Batik bertema Perang Jawa, yang menggambarkan pasukan gerak cepat serdadu Hindia Belanda Timur, koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)

Peter Carey, yang juga salah satu sejarawan sohor asal Inggris, mengungkapkan bahwa pameran ini diawali dengan ‘open call’—atau partisipasi terbuka untuk publik—sehingga siapa pun yang mempunyai karya lukisan yang berkaitan dengan Dipanagara dapat berkontribusi dalam pameran ini. “Pameran ini mencairkan batasan antara lukisan miliaran dan lukisan biasa.”

“Aku Diponegoro” juga memberikan kesempatan bagi sejumlah seniman Indonesia kontemporer seperti Srihadi Soedarsono, Heri Dono, Nasirun, Entang Wiharso, dan sederet nama lainnya untuk menyajikan pendekatan kekinian mereka atas sosok Sang Pangeran. Selain itu juga ditampilkan berbagai barang atau pernik yang berhubungan dengan Sang Pangeran, seperti foto, cukil kayu, kartu remi, buku komik, poster politik, dan uang kertas.

Bagian pameran yang berkait langsung dengan pusaka Dipanagara adalah tombak pusaka dan pelana kuda. Keduanya tampaknya ditinggalkan oleh Sang Pangeran karena nyaris tertangkap prajurit sekutu Belanda di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu, Jawa Tengah. Carey berkata, “Inilah kesempatan membangun hubungan kembali dengan leluhur.”

Namun demikian, Carey menyayangkan karena masih ada satu pusaka lagi yang kurang. Sampai tiga hari menjelang pembukaan pameran, jubah perang sabil Sang Pangeran yang kini tersimpan di bekas Wisma Residen di Magelang, tempat dia dijebak, tak kunjung mendapat restu untuk dipamerkan kepada masyarakat luas. “Meskipun sudah dijanjikan oleh Ganjar Pranowo—Gubernur Jawa Tengah,” demikian kata Carey, “namun hingga kini belum muncul.”

Celakanya, jubah itu sempat bolong karena mereka kerap menarik benang-benang sutera untuk jimat.

Carey berkisah, jubah itu diwariskan dari tangan Dipanagara sendiri kepada menantu, Basah Mertanagara (Basah Ngabdulkamil), yang kawin dengan anak Dipanagara. Jubah putih itu berbahan kain sutera shantung dan cinde.

Keluarga Mertanagaran menyimpan selama 130 tahun, ungkapnya. Pada 1970 keluarga tersebut berniat untuk memamerkannya, sehingga mereka meminjamkan jubah leluhur itu secara permanen kepada Museum Bakorwil II di Magelang. Awalnya, banyak pengunjung yang memuja jubah tersebut. Celakanya, jubah itu sempat bolong karena mereka kerap menarik sutera helai demi helai sebagai jimat. Kini, sebuah tambalan menghias di jubah pusaka Sang Pangeran itu.

Bagaimana kondisi penyimpanan jubah pusaka sang pangeran itu? “Menurut saya itu tidak layak sebab [jubah berada] di dalam lemari dan sebagian sudah dimakan serangga, banyak bolong,” ungkap Carey prihatin. Jubah itu “berada di hanger yang sesungguhnya tidak sesuai untuk penyimpanan kain yang sudah berumur lebih dari seratus tahun.”

Pelana kuda, tinggalan Dipanagara yang kini menjadi koleksi Museum Nasional. Dipanagara meninggalkan beberapa kuda, senjata, dan busana perang sabilnya ketika serdadu sekutu Belanda di bawah komando Mayor Andreas Victor Michiels nyaris menyergapnya, kebetulan tepat di hari ulang tahun sang pangeran itu. (Mahandis Yoanata Thamrin/NGI)
!break!
Uang Kertas Diponegoro 1952, koleksi Museum Bank Indonesia. (Museum Bank Indonesia/Goethe Institut)

Tubagus Andre Sukmana, direktur Galeri Nasional, menanggapi usulan pemikiran untuk membawa pameran serupa ke daerah. Dia mengatakan bahwa pameran semacam ini belum diprogramkan untuk keliling Indonesia karena galeri seni di daerah-daerah belum memiliki perihal standar keamanan dan pemeliharaan. “Kesempatan ke depan mungkin kita bisa memamerkan karya lukis Raden Saleh yang dimiliki negara dalam satu ruangan khusus supaya bisa dinikmati oleh publik.”

“Saya setuju dengan apa yang disampaikan Tubagus,” ujar Werner Kraus usai meninjau persiapan ruangan pameran. Karya-karya lukis Raden Saleh banyak yang dimiliki oleh negara dan kini tersebar di beberapa istana kepresidenan, demikian ungkapnya. “Masyarakat sulit menyaksikan lukisan Raden Saleh yang berada di istana. Alangkah lebih baik apabila lukisan-lukisan itu dijadikan dalam satu tempat [semacam museum atau galeri] sehingga kita bisa lebih mudah menyaksikan dan juga memerhatikan perawatannya.”

Penyelenggaraan “Aku Diponegoro” bertujuan untuk membangun sebuah gambar naratif akan masa lalu dan kemudian mengembangkan citra dan identitasnya sendiri. “Dalam pameran ini”, ungkap Kraus, “Dipanagara telah menjadi bagian dari dunia kita, seolah kita dapat tersenyum atau berbincang kembali dengan dia.”

Dalam gempita pameran bersejarah ini, National Geographic menggelar bincang santai di Galeri Nasional pada 21 Februari 2015. Perbincangan ini menghadirkan penuturan dua jurnalis tentang kisah di balik layar “Sang Pangeran dan Kecamuk Perang Jawa” yang pernah terbit di National Geographic Indonesia.

"Prince Diponego Rock" karya Bron Zelani. (Bron Zelani/Goethe Institut)