Isu Kekerasan Masih Menjadi Bagian Kelam di Perguruan Tinggi

By Galih Pranata, Minggu, 7 November 2021 | 07:00 WIB
Kekerasan seolah menjadi warisan dan sisi kelam bagi dunia kampus. (Agus Fakhruddin/UPI)

Nationalgeographic.co.id—Isu kekerasan di kampus masih marak terjadi. Terakhir, salah satu anggota resimen mahasiswa di Universitas Sebelas Maret Surakarta, harus menjadi korban dari bukti masih adanya kekerasan di dalam kampus.

Tidak hanya di perguruan tinggi, bullying hingga aksi kekerasan masih menjadi tugas penting bagi pendidikan nasional untuk diatasi. Tewasnya mahasiswa UNS menambah catatan kelam, sisi gelap dalam dunia pendidikan yang masih belum hilang.

Agus Fakhruddin, salah satu dosen di Universitas Pendidikan Indonesia, mengembangkan bahan ajar yang berjudul OSPEK Undercover (Sebuah Analisis Kritis Akan Suatu Penyimpangan). Ia berkisah dalam kajiannya tentang adanya isu kekerasan di kampus.

Kisah-kisah tragis menghiasi, menjadi bagian dari kelamnya pendidikan di perguruan tinggi. "Pada tahun 1994, Madya Praja Gatot dilaporkan tewas setelah mengikuti latihan dasar militer di STPDN. Di dadanya ditemukan luka lebam dan memar," tulisnya.

Baca Juga: Jika Diteliti Ternyata Ada Pendidikan Perdamaian di Kuch Kuch Hota Hai

Sampai pada tahun 2003, isu kekerasan di STPDN belum juga usai. "Madya Praja Wahyu Hidayat dari Kontingen Jawa Barat, meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit, diduga adanya adegan penganiayaan," imbuhnya.

Belum lagi adanya kasus narkoba yang dilatar belakangi karena rasa depresi dan frustasi akibat perundungan yang membuat Madya Praja Irfan Hibo tertekan dan memutuskan untuk mengonsumsi obat-obatan terlarang. "Ia ditemukan tewas karena overdosis akibat depresi berat," lanjutnya.

"Kebanyakan kasus kekerasan yang terjadi lekat pada kegiatan OSPEK," tulis Agus. Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau OSPEK, seharusnya menjadi ajang untuk memperkenalkan mahasiswa baru seputar kampus.

Heharero Tesar Ashidiq juga turut memberikan gambaran kekerasan yang terjadi di dalam dunia kampus. Tulisannya berjudul Kekerasan di Organisasi Intra Kampus, Paradoks Pendidikan Kritis Studi Kasus: Kekerasan Pada Mahasiswa Pecinta Alam (WAPEALA) Universitas Diponegoro, publikasi tahun 2019.

"Wapeala selalu identik dengan latihan fisik yang keras dan penempaan mental," tulisnya. Adanya miskonsepsi mewarnai keberlangsungan kegiatan Wapeala, berujung pada tindakan kekerasan yang dapat berujung fatal.

"Anggotanya selalu memandang, bahwa untuk memiliki fisik dan mental yang kuat, konsekuensi kekerasan fisik akan menjadi wajar dalam setiap kegiatan latihannya," tambahnya.

Baca Juga: Perundungan Anak Bisa Berefek Seumur Hidup bagi Korban dan Pelakunya

Fenomena kekerasan yang sulit untuk dihilangkan dari perguruan tinggi. (Agus Fakhruddin/UPI)

Hal ini disebut oleh Hannah Arendt, seorang filsuf yang menyebutnya dengan istilah banalitas kekerasan. "Kekerasan yang telah menjadi budaya, sehingga bukan lagi menjadi hal yang dianggap tabu dan menyimpang," ungkap Ashidiq.

Latihan yang keras, bisa saja mendorong pada hal-hal yang tidak diinginkan. "Bahkan beberapa di antaranya berujung kepada kematian, hanya saja identitas dan kejadiannya tidak banyak diliput publik," pungkasnya.

Padahal, setiap orang akan berpikir dengan hadirnya pendidikan dan ilmu pengetahuan, kelak akan menciptakan manusia menjadi sosok yang luhur dan beradab. "Pendidikan mengajarkan untuk hidup humanis," tulis Mangunhardjana dalam kutipan Haryanto.

"Bagaimana pendidikan mengarah pada tujuan untuk memanusiakan manusia," tambahnya. Haryanto Al-Fandi, menulis dalam bukunya yang berjudul Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis, terbit pada tahun 2011.

Pendidikan yang humanis dan bermoral menjadi salah satu solusi terbaik untuk diimplementasikan para mahasiswa dalam kehidupannya di dunia kampus. "Humanisme bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik," jelasnya.

"Moral akan menempatkan seseorang kepada tindakan kebajikan," pungkasnya. Dengan begitu, kesadaran diri akan tumbuh, meninggalkan budaya kekerasan yang seolah lestari dari masa ke masa.