Sajadah dari Timor

By , Jumat, 27 Maret 2015 | 15:30 WIB

Mama Onah menjelaskan bahwa ia tak mampu menjual tenun dengan harga murah karena biaya produksi dan pengerjaannya memang cukup tinggi. “Harga benang yang bagus ya mahal,” ujarnya sambil memperlihatkan perbedaan antara benang berkualitas kurang baik dan benang super. “Mama sulit sekali menjual dengan harga murah. Ada benang murah, tapi luntur.”

Delfiana R.Beni, Camat Atambua Barat yang kebetulan sedang mengunjungi sanggar, mengatakan bahwa kegiatan Mama Onah dan bianaannya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Bantuan sudah ada, namun kendala masih banyak. Kegiatan ini bisa mendukung ekonomi keluarga dan menyebarkan kecintaan masyarakat pada tenun di Kabupaten Belu ini,” ujar Delfiana.

Kelompok dalam sanggar tenun akan sangat membantu para perempuan untuk memiliki penghasilan sendiri, ungkap Delfiana,  sehingga membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

Berta pun menyahut,”Sajadah ini bagus, beta bisa bawa uang ke rumah. Senang bisa membantu beta pung keluarga, senang juga membuat tenun.”

Bertahun-tahun Berta hidup dengan berbaring dan jalan merayap. Selepas menjalani operasi pertamanya, Berta mulai menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mama Onah selalu berada di sisi Berta untuk menuntun belajar menenun dan terus memberinya semangat hidup.

 

Berta tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia belajar dengan tekun, membuat pola tenun, mencelup benang, memasang benang, dan duduk seharian untuk menenun. 

 

Saya menjumpai Berta tatkala gadis itu tengah merampungkan selembar tenunan sajadah di sanggar Mama Onah. Pemesannya adalah sebuah maskapai penerbangan besar di Indonesia.

“Kami mendapat pesanan sajadah cukup banyak dari Jawa. Selembarnya dijual seratus sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Biasanya satu sajadah kami kerjakan dalam tiga sampai empat hari,”ujar Mama Onah sambil membelai punggung Berta yang sedang menenun.

 

Berta sesekali tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu angkatnya. “Iya, pesanan banyak, beta menenun setiap hari. Mereka dong juga menenun,”ujar Berta menunjuk rekan-rekannya yang kebanyakan adalah remaja dan ibu rumah tangga.

 

Dia mengusap peluh di dahinya sembari bergumam,”Tapi sulit juga menjualnya. Ini dijual dibilangnya terlalu mahal, tapi harga benang su mahal e.”

 

Mama Onah menjelaskan bahwa ia tak mampu menjual tenun dengan harga murah karena biaya produksi dan pengerjaannya memang cukup tinggi. “Harga benang yang bagus ya mahal,” ujarnya sambil memperlihatkan perbedaan antara benang berkualitas kurang baik dan benang super. “Mama sulit sekali menjual dengan harga murah. Ada benang murah, tapi luntur.”

 

Delfiana R.Beni, Camat Atambua Barat yang kebetulan sedang mengunjungi sanggar, mengatakan bahwa kegiatan Mama Onah dan bianaannya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Bantuan sudah ada, namun kendala masih banyak. Kegiatan ini bisa mendukung ekonomi keluarga dan menyebarkan kecintaan masyarakat pada tenun di Kabupaten Belu ini,” ujar Delfiana.

 

Kelompok dalam sanggar tenun akan sangat membantu para perempuan untuk memiliki penghasilan sendiri, ungkap Delfiana,  sehingga membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

 

Berta pun menyahut,”Sajadah ini bagus, beta bisa bawa uang ke rumah. Senang bisa membantu beta pung keluarga, senang juga membuat tenun.”