Kisah Seorang Guru Merawat Anak Jalanan di Nairobi

By , Selasa, 12 Mei 2015 | 16:30 WIB

Air limbah membanjiri gang. Sisi kanan dan kiri lorong sempit itu disesaki gedung-gedung yang sudah tua. Bau urin memenuhi udara.

Sembari kita berjalan sore hari itu, saya mulai melihat bayangan orang-orang di pinggir jalanan tersebut. "Odijo, odijo," seru mereka.

Odijo artinya guru dalam bahasa pergaulan di Kenya. Nama itu mereka sematkan pada Clifford Oluoch, seorang guru sekolah dasar di Nairobi yang menghabiskan setiap sore hingga malam selama tiga bulan belakangan untuk memberi makan anak-anak jalanan.

“Saya sedang berjalan pulang suatu malam dan melihat anak-anak jalanan menawar harga sebuah bonggol jagung. Saya menawarkan untuk membelikan mereka masing-masing satu jagung, dan lebih banyak lagi anak-anak muncul. Pada akhirnya, saya membeli jagung untuk 25 orang,” katanya.

“Mereka bertanya apakah saya akan kembali lagi besok dan melakukan hal yang sama dan saya bilang, ‘Ya’. Saya memenuhi janji saya itu.”

Data akurat mengenai jumlah anak-anak tunawisma di Kenya sulit didapat.

Namun sebuah laporan Unicef dari tahun 2012 memperkirakan sebanyak 250.000 sampai 300.000 anak-anak menjadi tunawisma di Kenya. Sebagian besar dari mereka berada di kota-kota besar.

Kemudian, menurut lembaga amal asal Nairobi, Kenya Children of Hope, 63% anak-anak jalanan di sana telah hidup di jalanan selama lima tahun.

!break!

Menghirup "Lem" agar Tetap Hangat

Di tengah kota, bau menyengat kotoran manusia yang meruap dekat tempat kita berdiri, bercampur dengan bau pekat lem. Bahan perekat itu populer di antara kalangan anak-anak tunawisma sebagai ‘narkoba’.

Banyak dari mereka membawa botol plastik kecil berisi lem. Sesekali mereka menghirupnya. Baunya tajam dan kuat. Saya menanyakan seorang bocah lelaki kenapa dia menggunakannya.

“Ini membuat saya merasa lebih hangat sehingga lebih mudah tidur di luar sini,” katanya sebelum mengendus botol plastiknya itu tiga kali.

Namanya bocah itu, Thomas. Umurnya 14 tahun dan dia sudah tinggal di jalanan selama empat tahun.

Thomas mengatakan dia telah melihat banyak orang yang membantu namun dia merasa “Odijo” itu berbeda.