Para ilmuwan menganalisis 70 gigi sulung yang dikumpulkan dari 70 anak yang terdaftar dalam Avon Longitudinal Study of Parents and Children (ALSPAC) di Inggris untuk menguji hipotesis tersebut. Di ALSPAC, orang tua menyumbangkan gigi sulung yang secara alami jatuh dari mulut anak-anak berusia 5 hingga 7 tahun.
Sementara itu, ibu menyelesaikan kuesioner selama dan segera setelah kehamilan. Kuesioner mencakup pertanyaan tentang empat faktor yang diketahui memengaruhi perkembangan anak, yaitu peristiwa stres pada periode prenatal, riwayat masalah psikologis ibu, kualitas lingkungan (misalnya tingkat kemiskinan tinggi atau tidak aman), dan tingkat dukungan sosial.
Beberapa pola yang jelas muncul. Anak-anak yang ibunya memiliki riwayat depresi berat atau masalah kejiwaan lainnya seumur hidup dan ibu yang mengalami depresi atau kecemasan pada kehamilan 32 minggu lebih mungkin memiliki NNL yang lebih tebal daripada anak-anak lain.
Ibu yang menerima dukungan sosial penting segera setelah kehamilan cenderung memiliki NNL yang lebih tipis. Tren ini tetap sama setelah para ilmuwan mencoba mengendalikan faktor-faktor lain yang memengaruhi lebar NNL, termasuk suplementasi zat besi selama kehamilan, usia kehamilan (waktu antara pembuahan dan kelahiran), dan obesitas ibu.
Baca Juga: Menjadi Ibu Baru dan Krisis Identitas Profesional
“Tidak ada yang pasti apa yang menyebabkan NNL terbentuk, tetapi seorang ibu yang mengalami kecemasan atau depresi dapat menghasilkan lebih banyak kortisol, 'hormon stres', yang mengganggu sel-sel yang membuat email gigi. Peradangan sistemik adalah kandidat lainnya,” kata Dunn.
“Jika temuan penelitian ini dapat direplikasi dalam studi yang lebih besar, NNL dan tanda pertumbuhan gigi lainnya dapat digunakan di masa depan untuk mengidentifikasi anak-anak yang telah terpapar kesulitan hidup dini,” tutur Dunn.
“Kemudian kita dapat menghubungkan anak-anak itu dengan intervensi, sehingga kita dapat mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental, dan melakukannya sedini mungkin dalam kehidupan,” pungkasnya.