Risiko Kesehatan Mental pada Anak dapat Diketahui Melalui Gigi Susu

By Wawan Setiawan, Sabtu, 13 November 2021 | 14:00 WIB
Dr Erin Dunn, seorang psikiater di Rumah Sakit Umum Massachusetts, memeriksa gigi susu yang hilang dari anak berusia enam tahun, dan menemukan bahwa mereka yang memiliki email lebih tipis lebih mungkin mengalami masalah. (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id - Seperti halnya lingkaran batang pohon, gigi mengandung garis pertumbuhan yang dapat mengungkapkan petunjuk tentang pengalaman masa kanak-kanak.

Tumbuhnya gigi dimulai ketika bayi berusia antara 6 dan 12 bulan. Dalam beberapa kasus, bayi dilahirkan dengan gigi yang sudah erupsi. Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Network Open pada 09 November 2021 yang mengambil judul Association of Maternal Stress and Social Support During Pregnancy With Growth Marks in Children’s Primary Tooth Enamel, menunjukkan bahwa ketebalan tanda pertumbuhan pada gigi bayi (atau biasa juga dikenal dengan gigi susu) dapat membantu mengidentifikasi anak-anak yang berisiko mengalami depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya di kemudian hari.

Hasil studi yang dilakukan oleh para ilmuwan di Rumah Sakit Umum Massachusetts yang berafiliasi dengan Harvard ini dapat membantu para ilmuwan mengembangkan alat yang sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi anak-anak yang telah terkena kesulitan awal kehidupan, yang merupakan faktor risiko masalah psikologis. Sehingga memungkinkan mereka untuk dipantau dan dipandu menuju perawatan pencegahan, jika diperlukan.

Perlu dicatat bahwa, kesulitan masa kanak-kanak dapat bertanggung jawab atas sepertiga dari semua gangguan kesehatan mental.

Baca Juga: Benarkah Bahwa Facebook Abaikan Kesehatan Mental Pengguna Remajanya?

Gambar penampang gigi. (Kay Lazar/Boston Globe)

Erin C. Dunn, seorang ahli epidemiologi sosial dan psikiatri juga penyelidik di Unit Genetika Psikiatri dan Perkembangan Saraf MGH, sangat tertarik pada waktu terjadinya efek samping ini dan mengungkap apakah ada periode sensitif selama perkembangan anak ketika paparan terhadap kesulitan sangat berbahaya. Namun karena kurangnya alat yang efektif, Dunn dan timnya tidak dapat mengukur keterpaparan tersebut terhadap kesulitan masa kanak-kanak.

Namun, Dunn tertarik untuk mengetahui bahwa para antropolog telah lama mempelajari gigi manusia dari masa lalu untuk mempelajari lebih lanjut tentang kehidupan mereka.

“Gigi menciptakan catatan permanen dari berbagai jenis pengalaman hidup. Paparan sumber stres fisik, seperti gizi buruk atau penyakit, dapat memengaruhi pembentukan email gigi dan menghasilkan garis pertumbuhan yang jelas di dalam gigi, yang disebut garis stres, yang mirip dengan cincin di pohon yang menandai usianya,” tutur Dunn, seperti yang dilaporkan Tech Explorist.

Ia pun menambahkan, “Sama seperti ketebalan cincin pertumbuhan pohon dapat bervariasi berdasarkan iklim di sekitar pohon saat ia terbentuk, garis pertumbuhan gigi juga dapat bervariasi berdasarkan lingkungan dan pengalaman yang dimiliki seorang anak di dalam rahim dan, tak lama kemudian, saat gigi terbentuk. Garis stres yang lebih tebal, dianggap menunjukkan kondisi kehidupan yang lebih stres.”

Dalam hipotesisnya, Dunn berteori bahwa lebar satu varietas, khususnya, yang disebut garis neonatal (NNL), dapat menunjukkan apakah ibu bayi mengalami stres psikologis tingkat tinggi selama kehamilan dan pada periode awal setelah kelahiran.

Baca Juga: Tak Hanya Orang Dewasa, Anak-anak Juga Alami Depresi Akibat Karantina Selama Pandemi

Ketebalan tanda pertumbuhan pada gigi susu dapat membantu mengidentifikasi anak-anak yang berisiko mengalami depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya di kemudian hari, menurut sebuah penelitian yang dipimpin oleh para peneliti di Rumah Sakit Umum Massachusetts. (Michael Conroy AP)

Para ilmuwan menganalisis 70 gigi sulung yang dikumpulkan dari 70 anak yang terdaftar dalam Avon Longitudinal Study of Parents and Children (ALSPAC) di Inggris untuk menguji hipotesis tersebut. Di ALSPAC, orang tua menyumbangkan gigi sulung yang secara alami jatuh dari mulut anak-anak berusia 5 hingga 7 tahun.

Sementara itu, ibu menyelesaikan kuesioner selama dan segera setelah kehamilan. Kuesioner mencakup pertanyaan tentang empat faktor yang diketahui memengaruhi perkembangan anak, yaitu peristiwa stres pada periode prenatal, riwayat masalah psikologis ibu, kualitas lingkungan (misalnya tingkat kemiskinan tinggi atau tidak aman), dan tingkat dukungan sosial.

Beberapa pola yang jelas muncul. Anak-anak yang ibunya memiliki riwayat depresi berat atau masalah kejiwaan lainnya seumur hidup dan ibu yang mengalami depresi atau kecemasan pada kehamilan 32 minggu lebih mungkin memiliki NNL yang lebih tebal daripada anak-anak lain.

Ibu yang menerima dukungan sosial penting segera setelah kehamilan cenderung memiliki NNL yang lebih tipis. Tren ini tetap sama setelah para ilmuwan mencoba mengendalikan faktor-faktor lain yang memengaruhi lebar NNL, termasuk suplementasi zat besi selama kehamilan, usia kehamilan (waktu antara pembuahan dan kelahiran), dan obesitas ibu.

Baca Juga: Menjadi Ibu Baru dan Krisis Identitas Profesional

“Tidak ada yang pasti apa yang menyebabkan NNL terbentuk, tetapi seorang ibu yang mengalami kecemasan atau depresi dapat menghasilkan lebih banyak kortisol, 'hormon stres', yang mengganggu sel-sel yang membuat email gigi. Peradangan sistemik adalah kandidat lainnya,” kata Dunn.

“Jika temuan penelitian ini dapat direplikasi dalam studi yang lebih besar, NNL dan tanda pertumbuhan gigi lainnya dapat digunakan di masa depan untuk mengidentifikasi anak-anak yang telah terpapar kesulitan hidup dini,” tutur Dunn.

“Kemudian kita dapat menghubungkan anak-anak itu dengan intervensi, sehingga kita dapat mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental, dan melakukannya sedini mungkin dalam kehidupan,” pungkasnya.