De Voormoeders: Kisah Nenek Sejarawan Suze Zijlstra di Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 19 November 2021 | 11:00 WIB
Suze Zijlstra, sejarawan di Leiden University yang menulis De Voormoeders tentang riwayat keluarga asalnya di Hindia Belanda. (Trouw)

Fenomena sejarah sosial dan darah Hindia yang dimiliki Zijlstra ini, kemudian ditulisnya pula lewat blognya sebelum dijadikan penelitian.

"Jika kita hanya belajar tentang peran laki-laki di masa lalu, maka Anda kehilangan bagian penting dari sejarah. Jadi saya hanya pergi mencari leluhur saya. Pria Eropa dan Eurasia relatif mudah ditemukan, tetapi itu membuat saya penasaran dengan wanita di generasi sebelum saya," lanjutnya.

Sejak Belanda menancapkan pertama kali koloninya di Nusantara hingga bubar setelah Perang Dunia II, Gubernur Jendral pun tak pernah dijabat oleh perempuan. Di masa awal kekuasaan Belanda pun, hanya sedikit laporan terkait adanya perempuan karena alasan lingkungan pelayaran yang keras, dan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Sebagaimana yang dipaparkan sejarawan kuliner Fadly Rahman lewat buku Rijsttafel: Budaya Kliner di Indonesia masa Kolonial, jarangnya perempuan Eropa di Hindia Belanda membuat para lelaki memilih kawin campur dengan perempuan lokal.

Sejak awal, Zijlstra sudah yakin tidak akan menemukan nenek moyangnya di arsip. Dia menduga darah Hindia yang dimilikinya berasal dari perempuan yang menjadi budak, untuk dijual di Makassar.

Baca Juga: J.P. Coen Bersiasat Mencari Rahim Belanda untuk Prajurit VOC

Cornelia Frederika Rosenquist, nenek dari Suze Zijlstra saat tinggal di Hindia Belanda. (Arsip keluarga Suze Zijlstra)

"Sisi Hindia saya, bagaimanapun, sangat dekat melalui cerita nenek saya, satu-satunya kakek nenek yang saya kenal sebagai seorang anak." ujarnya.

"Hanya sedikit dari perempuan ini yang pergi ke Makassar secara sukarela. Sejarah mereka sarat dengan kekerasan, sejak orang menangkap mereka hingga waktu yang mereka habiskan dalam lingkungan VOC."

Tapi bisa jadi sisi lain dari darah Indonya juga berasal dari pelaku perbudakan. Jacoba van Clootwijk misalnya yang merupakan seorang Indo di Makassar pada abad ke-18. Jika seandainya Jacoba van Clootwijk adalah salah satu leluhurnya, maka pelaku perbudakan ada dalam keluarganya lewat suaminya.

Perempuan memang kurang aktif dalam masalah birokrasi pemerintah kolonial, dan hanya ditugaskan untuk merawat anak. Tapi jika sang suami meninggal, perempuan bisa mengambil bisnis milik suami, termasuk perdagangan budak.

Penelusuran lainnya membuatnya mengunjungi Indonesia, tempat dimana ibunya lahir hingga berusia dua tahun. Dia mencari tempat-tempat penting bagi keluarganya atau yang pernah dikunjungi.

Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial

Halaman berikutnya...