Nationalgeographic.co.id—Suze Zijlstra bekerja sebagai peneliti sejarah maritim dan kolonialisme Belanda abad ke-17. Selama empat tahun hingga purnatugas pada 2020, ia menjadi pengajar di Program Studi Sejarah Maritim di Leiden University.
Sudah sejak lama Zijlstra ingin tahu tentang asal-usul keluarganya, khususnya dari ibunya yang lahir di Hindia Belanda. Maka, mulai menelusuri dan menulis lewat bukunya berjudul De Voormoeders yang berarti 'nenek moyang'.
Penelusurannya bermula dari kisah dan dokumen masa lalu dari keluarga maupun di Nationaal Archief di Den Haag. Arsip yang ada di Den Haag tak begitu memuaskannya, lantaran kisah Belanda di Hindia penuh dengan kisah laki-laki.
"Mereka (laki-laki) lebih sering muncul di sumber-sumber, terutama di arsip perusahaan seperti milik VOC," tuturnya di Historiek.
"Memang sudah ada peneliti yang meneliti peran perempuan yang cukup besar dalam masyarakat VOC, tetapi untuk saat ini penelitian itu kurang tercermin dalam sejarah publik. Hal ini saya perhatikan ketika Nationaal Archief lebih banyak membicarakan tentang laki-laki dalam sebuah peran ciamik terkait dunia VOC."
Halaman berikutnya...
Fenomena sejarah sosial dan darah Hindia yang dimiliki Zijlstra ini, kemudian ditulisnya pula lewat blognya sebelum dijadikan penelitian.
"Jika kita hanya belajar tentang peran laki-laki di masa lalu, maka Anda kehilangan bagian penting dari sejarah. Jadi saya hanya pergi mencari leluhur saya. Pria Eropa dan Eurasia relatif mudah ditemukan, tetapi itu membuat saya penasaran dengan wanita di generasi sebelum saya," lanjutnya.
Sejak Belanda menancapkan pertama kali koloninya di Nusantara hingga bubar setelah Perang Dunia II, Gubernur Jendral pun tak pernah dijabat oleh perempuan. Di masa awal kekuasaan Belanda pun, hanya sedikit laporan terkait adanya perempuan karena alasan lingkungan pelayaran yang keras, dan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.
Sebagaimana yang dipaparkan sejarawan kuliner Fadly Rahman lewat buku Rijsttafel: Budaya Kliner di Indonesia masa Kolonial, jarangnya perempuan Eropa di Hindia Belanda membuat para lelaki memilih kawin campur dengan perempuan lokal.
Sejak awal, Zijlstra sudah yakin tidak akan menemukan nenek moyangnya di arsip. Dia menduga darah Hindia yang dimilikinya berasal dari perempuan yang menjadi budak, untuk dijual di Makassar.
Baca Juga: J.P. Coen Bersiasat Mencari Rahim Belanda untuk Prajurit VOC
"Sisi Hindia saya, bagaimanapun, sangat dekat melalui cerita nenek saya, satu-satunya kakek nenek yang saya kenal sebagai seorang anak." ujarnya.
"Hanya sedikit dari perempuan ini yang pergi ke Makassar secara sukarela. Sejarah mereka sarat dengan kekerasan, sejak orang menangkap mereka hingga waktu yang mereka habiskan dalam lingkungan VOC."
Tapi bisa jadi sisi lain dari darah Indonya juga berasal dari pelaku perbudakan. Jacoba van Clootwijk misalnya yang merupakan seorang Indo di Makassar pada abad ke-18. Jika seandainya Jacoba van Clootwijk adalah salah satu leluhurnya, maka pelaku perbudakan ada dalam keluarganya lewat suaminya.
Perempuan memang kurang aktif dalam masalah birokrasi pemerintah kolonial, dan hanya ditugaskan untuk merawat anak. Tapi jika sang suami meninggal, perempuan bisa mengambil bisnis milik suami, termasuk perdagangan budak.
Penelusuran lainnya membuatnya mengunjungi Indonesia, tempat dimana ibunya lahir hingga berusia dua tahun. Dia mencari tempat-tempat penting bagi keluarganya atau yang pernah dikunjungi.
Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial
Halaman berikutnya...
Meski 1945 Indonesia merdeka dan Jepang kalah, bukan berarti ada kebebasan bagi orang Indo. Perjuangan pasca kemerdekaan makin sengit karena orang Eropa yang tinggal di sana tidak yakin dengan kehidupan tanpa dikoloni Belanda. Bahkan, sang nenek Zijlstra juga pernah dikurung dalam kamp, dan diawasi tentara Indonesia.
"Secara keseluruhan, kami memiliki kamp yang sangat bagus di sana," kenang sang nenek pada Zijlstra dalam buku. "Karena ada tarian dan segala macam hal yang dilakukan." Tapi tetap saja kondisinya mengenaskan, karena kamp itu tidak memiliki perabotan yang baik, dan tidur di atas tikar dalam kamar bersama puluhan orang.
Nasib keluarga Zijlstra kemudian berubah pada beberapa tahun berikutnya, dan memutuskan untuk meninggalkan Indonesia pada 1955.
Pada masa itu, nenek Zijlstra menggambarkan kondisi Indonesia yang baru merdeka sedang kacau, terutama sentimen anti-Belanda terjadi. "Keluar dari sini. Tidak ada masa depan bagi anak-anak lagi," katanya.
Baca Juga: Zwarte Sinterklaas, Eksodus Masyarakat Sipil Belanda dari Indonesia
Sentimen anti-Belanda bermula dari bahasan teritori Indonesia di Papua dalam perundingan PBB tahun 1957. M.C Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200, Sukarno kecewa karena Belanda bersikukuh, dan mendorong gerakan radikalisme anti-Belanda lewat Kementerian Hukum agar mengusir 46.000 warga sipil Belanda di Indonesia.
Seiringan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal A.H Nasution, kerusuhan terjadi.Warga sipil keturunan Belanda pada Desember 1957 tidak bisa merayakan natal, dan dikenang sebagai Zwarte Sinterklaas. Ratu Juliana pun menginstruksikan warganya untuk segera pergi meninggalkan Indonesia yang kacau menuju Belanda.
Singkatnya, buku De Voormothers adalah buku tentang perjuangan seorang wanita yang berani mengambil keputusan terbaik, ketika situasi yang sangat sulit.
"Nenek saya sangat baik kepada saya dan saudara perempuan saya. Pindah ke Belanda pasti sangat sulit baginya, tetapi dia dengan berani melewatinya. Dia fantastis untuk cucu-cucunya dan itu juga mewarnai cerita," terang Zijlstra di Mare, kabar mingguan Leiden University.
Baca Juga: Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru-guru Perempuan di Surakarta