Kota London yang Penuh Dosa

By , Jumat, 24 Juli 2015 | 19:40 WIB

Tokoh utama dalam karya itu adalah seorang pelacur gila setengah telanjang dengan luka yang disebabkan oleh penyakit sipilis di kakinya, tak sadar bahwa bayinya sedang terjungkal menuju kematian.

Di Beer Street, London tampak gembira dan bahagia. (Stdelmuseum via BBC Indonesia)

Di tempat lain, peminum gin berkantong bokek berubah menjadi makhluk brutal dan liar. Seorang tukang kayu dan istrinya memakai pakaian compang camping dengan putus asa menggadaikan alat-alat pertukangan dan alat masak guna mendapat uang untuk mendanai kebiasaan minum mereka.

Di balik dinding, seorang anak laki-laki bersaing dengan seekor anjing memperebutkan sebongkah tulang. Penyanyi balada bertubuh kurus seperti mayat terduduk di depan dalam kondisi sakit parah. Anjing hitamnya menjadi simbol bagi keputusasaan.

Sementara di latar belakang, tampak mayat-mayat termasuk seorang tukang cukur yang digantung di lantai atas sebuah rumah separuh runtuh. Pada bagian ini kita dihadapkan oleh kerumunan pemabuk yang gila, menari-nari dan menyebabkan kekacauan di mana seorang di antaranya meletakkan alat tiup di kepalanya. Ia bahkan menari melompat-lompat saat mengayunkan sebilah lembing yang menyayat seorang bayi – sebuah penggalan dari mimpi buruk.

Di dunia jungkir balik yang dikendalikan oleh gin ini memperlihatkan keruntuhan masyarakat secara keseluruhan, disimbolkan oleh runtuhnya gedung dalam gambar pemandangan yang menyedihkan itu.

Berlawanan dengan Gin Lane yang seperti neraka, Beer Street seperti surga. Dengan lokasi di Westminster, tempat di mana perdagangan dan kerajinan berjaya, gambar ini menampilkan para pekerja sehat dan cukup makan saat menghabiskan waktu luang mereka, menikmati minuman bir yang berbusa. Selembar koran di meja melaporkan pidato dari raja, menyerukan “Kemajuan perdagangan dan menumbuhkan Seni Perdamaian”.

Di dekatnya tampak pedagang dengan keranjang penuh ikan, memperlihatkan masyarakat yang bersandar pada nilai-nilai perdagangan yang kokoh dan jujur – tak dicemari oleh gin – maka mereka akan diberkahi dengan keberlimpahan dan kemakmuran.

Hazlitt benar bahwa Hogarth tidak memiliki imajinasi tentang pedesaan yang indah. Namun perayaan keinggrisan di Beer Street, sebagaimana diingatkan oleh papan nama kuno di penginapan The Barley Mow, adalah hal paling ‘romantis’ yang bisa dihasilkan oleh sang artis.

Dan sementara Beer Street dan Gin Lane lahir karena persoalan yang khusus di zaman Hogarth, “realisme dan daya tarik sosial yang dimiliki Hogarth” kata Gerlach, “dan persepsinya serta selera humornya masih menarik hati bagi penonton hingga kini.”