"Sebagai Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam zaman perjuangan, maka Indonesia Muda inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekonominya, tak senang dengan nasib politiknya, dan tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya."
Kalimat tersebut kalimat pertama dari artikel bertajuk "Nasionalisme, Islamism, dan Marxisme" yang dimuat dalam Koran Suluh Indonesia Muda pada 1926. Pemuda belum berumur 20 tahun yang terpikat oleh karangan tersebut bernama Maskun. Maskun Sumadiredja yang tiga tahun kemudian ditangkap pemerintah Belanda, bersama-sama Bung Karno, gurunya, dan murid-murid Bung Karno yang lain, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata.
Pemuda yang berpendidikan sederhana tersebut merasakan ketidakadilan berlangsung di sekelilingnya. Ia kesal terhadap pemerintah Belanda, tetapi tidak mengerti mengapa terjadi keadaan demikian. Baru terbuka sebab-sebab dari ketidak adilan itu, tatkala dia berulangkali membaca karangan mengenai Aria Bima-putra. Ia ingin tahu siapakh si Aria Bima-putra?
Pada suatu hari Maskun mendengarkan pidato di Gedung Ons Genoegen (kini Gedung Kesenian), Jalan Braga, Bandung. Seorang insinyur muda, tampan, dengan berapi-api menerangkan dan mengobarkan cita-cita persatuan. Jalan pikiran dan kalimatnya sama seperti yang dibaca oleh pemuda Maskun dalam artikel Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tak salah lagi, dialah Aria Bima-putra yang dicarinya. Bung Karno, seorang insinyur yang pada 1927 tersebut baru berusia 26 tahun.
Pemuda Maskun belum puas. Ia memberanikan diri datang ke rumah Bunga Karno, waktu itu masih di Jalan Kebon Sirih. Dari pertemuan adu muka pertama tersebut dia menuturkan, "Saya bertanya macam-macam kepada Bung Karno. Pertanyaan-pertanyaan itu kalau saya pikir-pikir sekarang, kebanyakan pertanyaan tolol. Pertanyaan seorang pemuda yang tak tahu-menahu seluk-beluk politik. Saya tanyakan bagaimana kita dapat bersatu sebagai bangsa, sedangkan bahasa berlainan, tidak saling mengenal."
Bung Karno tidak mengecutkan hati pemuda tersebut dengan bantahan-bantahan. Sebagai seorang guru yang baik, diterangkannya segala pertanyaan yang aneh-aneh itu dengan sabar, ramah, dan jelas.
Dari pertemuan pertama itu apa yang menarik Maskun?
Jawabnya, "Mata Bung Karno. Matanya bersinar-sinar cerah. Saya tak berani memandangnya." Sampai di rumah Maskun tidak dapat tidur. Lama dia memikirkan keterangan-keterangan gurunya. Bersama Gatot Mangkupradja dan beberapa teman lain, Maskun menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) angkatan pertama, partai yang didirikan oleh Bung Karno, Dr. Samsi, dan Mr. Iskan Tjokrodisurjo pada 4 Juli 1927. Malahan menurut nomor keanggotaan, pemuda Maskun tercatat lebih dulu dari ketiga pendiri partai. Nomor anggota Maskun 26, sementara Bung Karno 38, Iskak 39, dan Dr Samsi 40.
Tatkala pada November 1927 diadakan pemilihan pengurus PNI cabang Bandung, pemuda Maskun terpilih sebagai komisaris, sebulan kemudian jadi sekretaris II. "Saya belum tahu apa-apa waktu itu. Bekal saya kemauan."
Bersama 15 orang lainnya dia mengikuti kursus kader di rumah Bung Karno, yang sudah pindah Jalan Pungkur. Kemudian Bung Karno pindah rumah lagi ke Jalan Astana Anjar 8. Rumah terakhir ini berupa rumah panggung dari bambu, sewanya sebulan jauh lebih murah daripada sewa rumah di Jalan Pungkur atau Jalan Kabupaten.
Jelas, mengapa Bung Karno terpaksa selalu pindah rumah. Ia tidak bisa membayar uang sewa. Kantor arstiteknya, semakin aktif dia dalam perjuangan, justru semakin tidak laku. Orang-orang takut "tersangkut".
!break!Rumah jadi asrama
Pelajaran-pelajaran pokok seperti Teori Perjuangan, Dasar Negara, Teori Sejarah, diberikan sendiri oleh Bung Karno. Biasanya kursus berlangsung dari pukul tujuh sampai 23.00, seminggu empat kali. Sebagai guru Bung Karno "streng". Pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan harus diselesaikan. Adakalanya dari pukul 23.00 terus bersama-sama membuat karangan sampai pukul empat pagi. Bung Karno menunggui sambil memberikan koreksi.