Seorang wartawan asing yang terkemuka dan banyak menulis buku tentang negarawan besar menyatakan pidato Bung Karno adalah "a delicately balanced proportion of dignity and folksiness, suatu imbangan yang pelik antara keagungan dan kerakyatan, kesungguhan dan humor, kesenian dan drama, percaya diri sendiri, percaya akan rakyat, penggugatan terhadap negara-negara asing, kebijaksanaan umum, dan perincian untuk perbuatan perbuatan tertentu."
Setiap kali berpidato, paling sedikit ada tiga mikrofon di depan Bung Karno. Satu untuk pengeras suara, satu dihubungkan dengan tape recorder, dan satu disambung dengan RRI setempat. Sebelum mulai pidato Bung Karno minum seteguk air. Selama pidato, sekalipun dua jam lamanya, beliau tidak akan minum lagi. Kreativitas Bung Karno dalam seni pidato merupakan bidang yang belum digali selama ini. Jurusan ilmu publisistik di universitas-universitas di Indonesia baru sampai pada bidang jurnalistik, paling banter radio dan televisi. Retorika belum dijamah.
!break!Cinta alam
Menurut Pak Darmosoegondo, kopi, Buletin Antara dan surat kabar merupakan teman Bung karno, yang pertama-tama hadir begitu beliau bangun pukul 06.00. Hingga kini buku tetap merupakan sahabatnya setia. Buku-buku baru yang sedang beliau baca berserakan di kamar tidur. Siang hari beliau selalu leyeh-leyeh sambil baca-baca. Beliau juga sering mengawasi sendiri orang yang membetulkan pahatan patung atau lukisan.
Begitu keluar dari kamar sekitar pukul 07.00, para tamu sudah menunggu. Tamu tidak resmi. Tamu-tamu resmi baru diterima mulai pukul 10.00. Sesuai dengan nasihat orang tua "jangan tidur sore-sore" Bung Karno baru tidur setelah lewat pukul 00.00.
Orang tua, baik ayah ibu mau pun orang-orang yang lebih tua lainnya amat beliau hormati. Wartawan asing yang kami kutip di atas sangat teraharu tatkala menyaksikan Presiden Soekarno menyembah (sungkem) ibunya, meletakkan kepala di pangkuan ibunya dan baru bangkit setelah ibunya selesai mengelus-elus kepala beliau.
Tanaman di pekarangan Istana juga mendapat perhatian. Bung Karno cinta alam, sebagai salah satu pernyataan cintanya akan Tanah Air. Tetapi alam yang bebas. Tanaman biar sarat dan lebat daunnya janganlah dipotong. Kalau katak masuk Istana, jangan diusir.
Rakyat Cirebon pernah mencegat Bung Karno, meminta amanat sambil memberikan seekor burung merak. Burung tersebut diterima dengan ucapan terima kasih, tetapi kemudian beliau minta agar dilepaskan. Belum lama ini beliau berkata: "Kalau saya mendengar bunyi burung perkutut, maka Tanah Airlah yang saya dengarkan. "Kemerdekaan untuk merdeka bukan hanya untuk manusia, juga margasatwa." Demikian komentar Pak Darmosoegondo.
Kecintaan terhadap alam juga tampak dari pilihan nama yang diberikan kepada putra-putrinya; Guntur, Guruh, Taufan, Megawati, Sukmawati, Rachmawati. Sebelum berangkat sekolah, Guntur dan adik-adiknya selalu menghadap sang ayah dulu. Begitu juga sepulang mereka dari sekolah. Di tengah kesibukan yang luar biasa, hati sang ayah masih selalu terbuka untuk putra-putrinya.
Pada 1 Juni hari lahir Pancasila. Enam juni hari lahir Bung Karno, Penggali Pancasila. Di depan pertemuan raya umat Kristen Jakarta belum lama ini, Presiden Soekarno mengungkapkan suasana pada malam hari, sebelum mengucapkan pidato Lahirnya Pancasila. Bung Karno keluar dari rumahnya di Pegangsaan Timur.
Dia memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan datanglah ilham yang membulatkan tekad untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berwilayah dari Sabang dan Merauke di atas dasar Pancasila.
Pancasila adalah penggalian mutiara-mutiara Indonesia. Tetapi Pancasila juga merupakan penggalian dari pribadi Bung Karno. Kata Pak Darmosoegondo, kalau orang ingin mengungkap pribadi Bung Karno, maka pertama-tama perlu disadari bahwa beliau adalah "manusia yang cinta akan Tuhan, akan Tanah Air, dan akan sesama manusia"
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan: Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh Majalah Intisari pada Juni 1964. Kisah ini kembali terbit di majalah yang sama edisi Agustus 2015 sebagai bagian dari "70 Kisah Soekarno - Republik, Sahabat, dan Wanita"