Kegelisahan terhadap nuklir yang telah berlangsung sejak lama berdampak pada film, televisi, musik dan literatur. Sineas, sastrawan, dan seniman lalu menemukan respons kreatif terhadap aspek kehancuran, tulis Samira Ahmed.
HG Wells merupakan orang yang pertama kali membayangkan tentang bom atom dan bahkan menamakannya, dalam sebuah novel yang diterbitkan pada 1914 dengan judul The World Set Free.
Wells membayangkan sebuah uranium mirip granat tangan yang "dapat meledak dalam jangka waktu yang tertentu". Dia mungkin salah memperkirakan bentuk dan ukuran, tetapi itu menjadi sebuah realitas dalam hidupnya – hanya dalam 30 tahun kemudian.
Budaya popular kemudian mulai 'bergulat' dengan kekuatannya.
Di Jepang, ketika militer AS menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia Kedua, energi atom menciptakan atau membangunkan para monster.
Film Godzilla (1954) merujuk pada sebuah peristiwa nyata ketika seorang kru kapal pukat Jepang menderita radiasi setelah uji coba sebuah bom di Lautan Pasifik. Petir yang menerjang menghancurkan Tokyo dalam film tersebut tampak seperti dokumenter, bukan fiksi.
Pada tahun yang sama Hollywood membuat Them! – sebuah film yang memperlihatkan uji coba bom menciptakan semut-semut radiokatif raksasa yang menyerbu Los Angeles.
Radiasi yang memicu mutasi menjadi sebuah imajinasi yang populer. Dalam novel Richard Matheson yang berjudul The Shrinking Man, perubahan dipicu oleh sebuah kabut radioaktif misterius di laut dan menjadi sebuah eksplorasi muktahir dari kekhawatiran pasca-perang mengenai identitas maskulin.
Tetapi dalam Perang Dingin Amerika, seperti Jepang, radiasi atom lebih banyak menjadi penyebab munculnya pahlawan super dibandingkan monster; seperti Incredible Hulk, seorang ahli sains yang secara tidak sengaja terpapar sinar gamma dalam sebuah uji coba bom dan Spider-man, yang digigit oleh seekor laba-laba radioaktif (kedua cerita ini muncul pada tahun yang sama 1962).
Cerita tentang Fantastic Four (1961) disebabkan oleh paparan sinar kosmik ke dalam roket mereka dalam perjalanan menuju luar angkasa, sementara X-Men (1963) menggambarkan konsep mutasi sebagai sebuah jenis gerakan pembebasan anak-anak muda.
!break!Inggris dan bom
Dalam literatur sains fiksi, terutama di Inggris, tempat di mana bom atom pertama kali dibayangkan, sejak awal visinya lebih 'gelap'. Dalam novel sains fiksi karya John Wyndham (1955), penulis membayangkan kembalinya sebuah takhayul zaman pertengahan setelah perang nuklir dan sebuah perburuan untuk menghancurkan mutan seperti penyihir.
Sinema pasca-perang Inggris dengan cepat bergulat dengan dilema moral dari masa bom atom.
Dalam Seven Days to Noon (1950) seorang ahli senjata atom Inggris, menjadi gila dengan kekuasaan dan mengancam untuk meledakkan hasil pencurian di pusat kota London jika pemerintah tidak menutup program senjata.
Film ini juga menampilkan gaya-dokumenter realisme; menunjukkan evakuasi massal dari London dalam persiapan peledakan. Pada masa ini juga adanya kemauan dalam dunia hiburan setelah Perang Dunia Kedua, untuk menghadapi kemungkinan kehancuran baru.
Karya Val Guest yaitu The Day The Earth Caught Fire (1954) mendokumentasikan hancurnya masyarakat dan lingkungan setelah uji coba nuklir menyebabkan perubahan iklim.
Meski drama lebih banyak mengenai cerita tentang luar angkasa dan bukan bom, seperti yang ditampilkan dalam karya George Pal dengan judul When Worlds Collide (1951) atau seri the Quatermass dan film sangat mengeksplorasi potensi perubahan besar kekuatan baru ini.
Pal mengangkat cerita tentang bom dalam filmya The Time Machine (1960) dari novel karya HG Wells tentang penjelajah yang melalui mesin waktu untuk pergi ke masa depan dan menyaksikan sebuah perang nuklir pada 1966.
Karya Stanley Kubrick yang berjudul Dr Strangelove tentang satir politik tentang perang dingin antara Uni Soviet dan AS serta ketakutan dengan perang nuklir.
Bahkan The Ed Sullivan Show juga mengambil tema tentang kehancuran akibat nuklir. A Short Vision – sebuah film animasi Inggris mengenai kehancuran nuklir pada 1956, dan ditayangkan dua kali dalam sepekan membuat sebuah generasi anak-anak pada masa itu merasa trauma.
!break!Pemandangan berwarna merah
Tetapi optimisme tentang kekuatan atom berdampingan dengan ketakutan mengenai bom. Sejumlah buku anak-anak, atau komik seperti Eagle di Inggris, menjadikannya sebagai suatu potensi teknologi, yang dapat menjadi energi untuk mobil kita dan juga pesawat luar angkasa dalam Jetsons atau Dan Dare sang pilot masa depan.
Bola atom yang berwarna cerah tampak dalam desain ruangan di abad pertengahan seperti jam, gantungan jaket dan furnitur.
Pakaian santai pun menggambarkan bom, bahkan nama bikini diambil dari pulau karang di Pasifik yang menjadi lokasi uji coba nuklir.
Dan apa yang dipakai oleh simbol seks perempuan pada era 1950-an dalam buku Hitchcock dengan berambut pirang - tanpa menyebut Jayne Mansfield dan Marilyn Monroe, dengan menggunakan bra dan korset sebagai baju tempur. Pirang juga disebut bom seks atau simbol seks.
Jika ada sesuatu yang menjadi kunci dalam perubahan imajinasi kita tentang awan jamur—yaitu foto dalam sampul album The Atomic Count Basie pada 1958, sebuah mimpi buruk sebagai warga Amerika—ikon asli—seperti Marilyn atau botol Coca-Cola.
Bom telah menginspirasi gerakan seni seperti seni auto-destruktif dari Gustav Metzger, yang menggunakan asam untuk merusak dalam aksinya ketika berkarya.
Seniman lain Jackson Pollock dan Tony Price juga menyentuh masalah nuklir dan era bom dalam karyanya.
!break!Ketakutan berubah jadi fantasi
Pada tahun 1970an, film-film yang menggambarkan tentang bom atom masih muncul yang dianggap gagal yaitu Beneath The Planet of the Apes (1970) yang menceritakan tentang astronot Nasa yang mencari mutan yang selamat.
Tetapi pada kurun waktu 1970an dan 80an optimisme yang berasal dari era 50an telah hilang. Ketakutan akan insiden nuklir muncul dalam masa konspirasi pasca-Watergate dalam The China Syndrome (1979)—yang dirilis 12 hari sebelum Three Mile Island—dan Silkwood (1983).
Bagaimana dengan musik pop? Sangat sulit bagi para remaja untuk mengapreasi kekuatan yang mengganggu dalam video pop Blondie berjudul Atomic (1979), yang menampilkan sebuah dunia mutan yang terekspos menari usai perang nuklir.
Ada juga film yang menampilkan drama realis mengenai bagaimana perang dapat terjadi; Threads (1984) di Inggris dan The Day After (1983) di AS. Bahkan film remaja Matthew Broderick, War Games (1985).
Pada 1994, kita meyaksikan bagaimana ketakutan terhadap bom telah menurun. Empat tahun setelah kejatuhan Uni Soviet, James Cameron memperlihatkan sebuah ledakan nuklir sebagai latar belakang film True Lies ketika adegan ciuman Arnold Schwarzenegger dan Jamie Lee Curtis. Film tentang pejahat dengan bom atom telah menjadi cerita fiksi semata ( Mickey Spillane dalam Me Deadly dan Goldfinger, dan Spy ), dan mungkin yang menjadi teror terbesar yaitu kita telah lupa untuk menjadi takut.